DENPASAR, REPORTASE BALI- Larangan memproduksi air minum dalam kemasan (AMDK) di bawah satu liter di Bali, sebagaimana tertera dalam Surat Edaran (SE) Nomor 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah dinilai tidak menyelesaikan persoalan-persoalan sampah plastik di Bali. Hal ini disampaikan tokoh masyarakat Kota Denpasar Anak Agung Susruta Ngurah Putra saat dikonfirmasi, Kamis sore (19/6/2025). Ia menjelaskan, selama ini AMDK di bawah satu liter sama sekali tidak menimbulkan sampah plastik. Sebab, perusahaan yang memproduksi AMDK di bawah satu liter sudah bisa mendaur ulang botol plastik dan membuka kesempatan bagi para pemulung bisa menghasilkan uang. “Faktanya, botol atau gelas bekas AMDK bisa didaur ulang dan juga bisa menghasilkan uang bagi pemulung. Bayangkan saja, akan banyak pemulung yang kehilangan pekerjaan atau kehilangan penghasilan,” ujarnya.
Menurutnya, larangan AMDK di bawah satu liter sangat berpotensi terjadi perdagangan gelap terkait dengan penjualan AMDK di Bali. Artinya, jika di Bali dilarang, orang akan memesan dari luar Bali secara diam-diam. “Siapa yang bisa melarang hal ini karena ini adalah produk resmi, berizin di Indonesia dan legal diperjualbelikan di seluruh wilayah Indonesia,” ujarnya. Bila alasan karena plastik, maka masih banyak produk lainnya yang sangat berbahaya karena semuanya plastik yang tidak bisa didaur ulang oleh perusahaannya sendiri. Banyak sekali kemasan makanan, shampo, kresek yang dijual bebas di pasar di Bali dan dijadikan sebagai tas belanja. Kenapa itu kebijakan tidak menyentuh langsung di hulu, misalnya melarang semua jenis plastik masuk ke Bali.
Susruta menilai kebijakan ini berpotensi menciptakan efek domino ekonomi dan sosial yang berbahaya. Menurutnya, kebutuhan masyarakat terhadap kemasan plastik kecil bukan hanya soal kebiasaan, melainkan kebutuhan riil yang tidak bisa dielakkan. “UMKM makanan dan minuman akan paling terdampak karena sebagian besar dari mereka sangat tergantung pada kemasan plastik kecil yang murah dan praktis,” ujarnya. Ia juga mengingatkan, pelarangan ini bisa menjadi blunder kebijakan yang membuka celah tumbuhnya pasar gelap legal. Sebab, kalau toko modern dan distributor resmi takut menjual karena khawatir sanksi, bukan berarti permintaan berhenti. Barang akan tetap masuk lewat jalur tidak resmi, bisa dari wilayah tetangga seperti Banyuwangi. Monitoring pajak bisa hilang, negara justru rugi.
Susruta mengkritik bahwa kebijakan ini tidak menyentuh akar masalah pengelolaan sampah. “Alih-alih memberdayakan pemulung dan memperkuat sistem daur ulang, kita malah memangkas sumber ekonomi dan membuka peluang pengangguran baru. Padahal plastik kalau dikelola dengan baik justru bisa jadi komoditas bernilai,” tambahnya. Ia menekankan bahwa kebijakan lingkungan seharusnya berbasis pada tahapan transisi yang realistis, bukan langsung melarang secara kaku tanpa menyediakan solusi atau alternatif yang terjangkau, terutama bagi pelaku usaha kecil.
Sementara itu, Gubernur Bali Wayan Koster dalam penjelasannya menyebut SE tersebut sebagai upaya mendesak untuk mengatasi persoalan sampah yang selama ini belum tertangani optimal. Dalam SE itu, enam sektor utama ditargetkan untuk membentuk unit pengelola sampah dan mengurangi plastik sekali pakai secara drastis, termasuk di lembaga pendidikan, tempat ibadah, pasar, hotel, restoran, dan desa adat. Koster juga menyebutkan bahwa pelanggaran terhadap SE ini akan diberi sanksi keras, mulai dari pencabutan bantuan dana desa, insentif perangkat desa, hingga pencabutan izin usaha. Sebaliknya, bagi yang patuh akan diberi penghargaan dan insentif berbasis kinerja.
Namun, efektivitas dari pemberlakuan kebijakan ini kini diragukan. Ketegasan SE dinilai berbenturan langsung dengan kondisi lapangan. Masyarakat Bali masih sangat tergantung pada penggunaan plastik kecil, khususnya untuk kebutuhan sehari-hari dan sektor informal.
Anak Agung Susruta mengingatkan, jika regulasi tidak disertai edukasi, pendampingan, dan inovasi teknologi pengganti, yang muncul justru perlawanan diam-diam dalam bentuk pasar paralel. “Kita harus hati-hati, niat baik jangan sampai blunder yang justru mencederai ekonomi kerakyatan,” urainya
Dengan potensi gelombang pengangguran, menurunnya daya saing UMKM, serta ancaman tumbuhnya pasar ilegal lintas daerah, kebijakan ini membutuhkan evaluasi ulang dan pendekatan yang lebih inklusif demi menjaga keseimbangan antara kelestarian lingkungan dan kelangsungan ekonomi rakyat kecil.