REPORTASEBALI.ID – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menggelar sosialisasi penanganan korban tindak pidana terorisme masa lalu di Prime Plaza Hotel, Sanur, Denpasar, Kamis (17/7/2025). Kegiatan ini dilakukan menyusul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperpanjang batas waktu pengajuan kompensasi korban hingga 22 Juni 2028.
Ketua LPSK Achmadi mengatakan, perpanjangan waktu ini memberi harapan baru bagi para korban terorisme yang belum sempat mengakses haknya. Menurutnya, dampak yang ditinggalkan aksi teror tidak hanya bersifat fisik, tapi juga psikologis, sosial, dan ekonomi.
“Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 ini sangat progresif, karena mengakui dan memberikan hak-hak kompensasi kepada korban terorisme, bahkan untuk kejadian yang terjadi sebelum undang-undang ini diberlakukan,” kata Achmadi di hadapan peserta sosialisasi.
Ia mencatat, sejak 2016 hingga 2024, negara telah menyalurkan kompensasi sebesar Rp133,3 miliar kepada 785 korban. Rinciannya, 312 orang melalui putusan pengadilan dan 572 orang melalui mekanisme non-litigasi. Namun, masih banyak korban yang belum terjangkau akibat batas waktu pengajuan yang sebelumnya hanya tiga tahun.
“Melalui putusan MK Nomor 103/PUU-XXI/2023, waktu pengajuan diperpanjang hingga 2028. Ini jadi momentum penting bagi korban yang belum mengakses haknya,” ujarnya.
Achmadi menegaskan, kegiatan sosialisasi ini merupakan bagian dari komitmen LPSK untuk terus memperkuat upaya perlindungan dan pemenuhan hak korban terorisme. Ia juga mengapresiasi dukungan berbagai pihak yang selama ini terlibat dalam upaya perlindungan korban.
Anggota Komisi III DPR RI Willy Aditya yang hadir dalam sosialisasi ini menyampaikan dukungannya terhadap langkah proaktif LPSK. Menurutnya, pendekatan jemput bola ini penting agar korban tidak merasa dibiarkan sendiri.
“Kita sering kali rame saat kejadian, tapi setelah itu korban dibiarkan sendiri. Nah, LPSK ini luar biasa, turun langsung, jemput bola ke Bali. Ini yang kita apresiasi,” kata Willy.
Politikus dari Partai NasDem itu juga menyinggung pentingnya kolaborasi antar-lembaga dan penggunaan teknologi digital dalam memperluas jangkauan sosialisasi.
“Sekarang ini zamannya kolaborasi, bukan ego sektoral. Bahkan kita bisa manfaatkan media sosial seperti TikTok, Instagram, dan platform lain untuk menjangkau masyarakat lewat algoritma. Sosialisasi jangan cuma satu arah, tapi juga dengerin kendala dari lapangan,” ucapnya.
Willy menyebut, banyak kebijakan progresif di tingkat pusat yang tidak sampai ke daerah karena lemahnya sosialisasi. Karena itu, ia mendorong agar forum-forum seperti ini dijadikan ruang terbuka untuk menyampaikan kendala dan menyusun langkah-langkah perbaikan.
“Sampaikan saja, dari pengadilan, kejaksaan, rumah sakit, atau langsung dari para penyintas. Kita harus kerja bareng supaya hak korban bisa terpenuhi dengan maksimal,” tutupnya.