DENPASAR, REPORTASE BALI- Beredar sebuah video yang diunggah oleh akun asal luar negeri bernama PETA. ViVideo dan narasi tentang penganiayaan gajah demi kepentingan pariwisata tersebut diposting oleh Margarita Sachkova pada 8 November 2025 lalu di https://www.peta.org.au. Dalam narasinya, PETA mengungkap bahwa gajah-gajah di tempat wisata di Bali, Indonesia, dirantai di kandang sempit yang tandus dengan luka dan bekas luka di kepala serta kaki mereka. Para pekerja memukul dan menusuk mereka berulang kali menggunakan bullhook atau alat yang mirip dengan besi penusuk perapian dengan kait logam di salah satu ujungnya. Tujuannya untuk mengendalikan dan mengarahkan gajah-gajah itu sesuai dengan kebutuhan tamu.
Kuat dugaan, organisasi internasional PETA yang juga sebuah lembaga pemerhati hewan melakukan investigasi secara detail soal penganiayaan terhadap gajah demi kepentingan pariwisata di Bali. Sebab, dalam video yang diunggah, tampak dengan jelas ditunjukkan bekas luka hingga kedipan mata gajah yang menahan rasa sakit akibat ditusuk dan dilukai oleh pawangnya agar bisa diarahkan sesuai keinginan pengunjung.
Dalam narasi yang diunggah, tidak dijelaskan secara spesifik lokasi Penganiayaan terhadap gajah-gajah itu. Namun di beberapa kalimat dengan jelas tertulis “Bakas Adventure Elephant Safari and Rafting dan Mason Elephant Park & Lodge” dan juga ada tertulis ‘Bali Zoo”. Jika benar demikian maka lokasi ini diketahui berada di Kabupaten Gianyar, Klungkung, Bali yang dalam atraksi pariwisatanya menggunakan gajah. Bahkan, narasi akun tersebut juga menulis soal iklan di berbagai platform media, jika lokasi pariwisata di Bali yang menggunakan gajah tersebut memasarkan diri mereka kepada wisatawan sebagai “penyelamatan gajah” untuk menarik minat para pengunjung. “Setiap kali gajah tidak mengikuti arahan, kami tidak memberi mereka makanan. Anda harus memukul mereka dengan keras agar mereka lebih patuh. Jika gajah tidak patuh dengan kait tumpul, maka pawang akan menggunakan kait yang tajam, hingga gajah tersebut berdarah,” tulis Margarita Sachkova dalam narasinya.
Di bagian akhir tulisan, Peta juga meminta agar turis asing diharapkan tidak berkunjung ke Bali dengan membayar sejumlah uang untuk pelecehan dan eksploitasi gajah. “Industri pariwisata sudah menipu turis atau pengunjung, agar membayar sejumlah uang dengan cara pelecehan dan eksploitasi gajah yang seharusnya hidup bersama keluarganya di alam, tidak dirantai dan terus-menerus diancam dengan kekerasan. Di alam, gajah hidup dalam kelompok matriarkal, saling melindungi, dan berbagi tanggung jawab sebagai ibu bagi bayi-bayi dalam kelompok tersebut. Namun mereka yang dipaksa untuk memberikan tumpangan dalam industri pariwisata, direnggut dari ibu mereka saat masih bayi, tidak bisa bergerak dengan tali yang diikat erat, dan dicungkil dengan tongkat yang dipaku atau benda tajam lainnya agar mereka patuh karena takut. Gajah dewasa dipaksa menjalani kehidupan sebagai budak, dirantai saat tidak bekerja, dan terus-menerus diancam dengan kekerasan fisik dan hukuman psikologis. Jangan lagi berkunjung destinasi wisata yang mengeksploitasi gajah, untuk mengakhiri pelecehan, memaksa gajah untuk ditunggang atau mandi bersama manusia,” tulis Margarita Sachkova.
Aktifis pemerhati Satwa liar dari Jakarta Animal Aid Network (JAAN) Femke den Haas saat dikonfirmasi, Senin (10/11/2025), mengaku tidak kaget lagi dengan usaha pariwisata Bali Bali yang melakukan kekerasan terhadap satwa liar Gajah. “Sebenarnya ada dua organisasi internasional yang sering berupaya membuka usaha pariwisata di Bali dengan eksploitasi gajah. Selain PETA ada juga WAP. Namun hal ini tidak membuat industri pariwisata di Bali bergeming. Pemerintah setempat juga tidak bisa berbuat banyak karena merasa tidak memiliki tanggung jawab atas tindakan eksploitasi gajah,” ujarnya.
Pendiri JAAN itu mengisahkan, pernah saat COVID melanda dunia, ada sebuah destinasi wisata di Bali yang menggunakan gajah menelantarkan gajah-gajahnya, tidak diberi makan namun kakinya dirantai. “Waktu itu saya bersama teman-teman di Bali, juga bersama JAAN yang harus memberi makan hampir selama 3 bulan lebih. Sebab, makanan gajah, perawatan gajah itu mahal. Kalau tidak ada kunjungan wisata maka mereka akan rugi. Gajah ditelantarkan,” ujarnya.
Terkait dengan narasi dan video yang diunggah Margarita Sachkova di media PETA, Femke meminta agar pemerintah bertindak tegas. Pemerintah harus melarang eksploitasi gajah dengan cara kekerasan atau melukai dan dirantai kakinya. Sebab bila tidak tegas maka citra pariwisata Bali akan rusak. “Usulan saya, pemerintah segera tindak tegas, hentikan eksploitasi gajah untuk kepentingan pariwisata komersial. Tidak ada cara lain. Ingat, banyak turis asing yang tidak suka memperlakukan satwa liar seperti itu. Kalau dibiarkan, siap-siap saja risikonya,” ujarnya.
Ia melanjutkan, ada beberapa bahasa pembelaan dengan mengatakan bahwa, dimana mana bila gajah dijadikan atraksi maka perlakuan pasti sama. “Saya pastikan itu tidak lagi terjadi saat ini. Di Thailand yang dijuluki negeri gajah putih saja sudah berubah. Gajah dibiarkan hidup di alam liar, tetap saja banyak kunjungan turis kesana. Boleh saja dijadikan destinasi pariwisata, tetapi gajah harus nyaman, natural dan pengunjung juga nyaman dari ancaman gajah. Di Thailand sudah melakukan hal ini,” ujarnya.




















