Peringati Hari HAM, Aktivis di Bali Konsolidasi Hadapi Konflik Pertanahan

0
218

DENPASAR, REPORTASE BALI- Forum Peduli Bali menggelar konsolidasi bersama aktivis dan organisasi masyarakat sipil untuk mewaspadai pelanggaran HAM dalam konflik pertanahan dan tata ruang.
Warga korban konflik seperti di Selasih (Gianyar), Kintamani (Bangli) dan Pejarakan (Buleleng) turut terlibat dalam acara itu.

Dalam acara itu muncul pula aspirasi untuk mencermati rencana pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pejarakan Buleleng Bali serta berbagai proyek di Jembrana Bali yang rawan konflik agraris.

Diskusi berlangsung di Asa Coffee, Rabu (10/12), melibatkan LBH Bali, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Bali, mahasiswa, serta perwakilan masyarakat terdampak kasus pertanahan seperti Selasih dan Sumberklampok. Mereka sepakat bahwa proyek besar dengan dalih investasi seringkali meminggirkan hak masyarakat Bali atas tanah dan ruang hidupnya.

Perwakilan BEM FH Universitas Udayana, Firmansyah, menyebut masalah alih fungsi lahan di Bali sudah mengkhawatirkan. Minimnya pengawasan membuat lahan pertanian berubah menjadi vila dan properti komersial. ”Tanah Bali sudah banyak beralih ke investor. Jika ini dibiarkan, warga Bali bisa jadi gelandangan di tanahnya sendiri,” tegasnya.

Selain itu, ia menilai mitigasi bencana dan tata ruang diabaikan hingga memicu bencana seperti banjir bandang di beberapa daerah.

Aktivis KPA Bali, Made Indrawati membeberkan bahwa konflik tanah bukan isu baru. “Kasus Selasih sudah 30 tahun tak selesai, Sendang Pasir 35 tahun mandek, termasuk persoalan eks pengungsi Timtim. Hampir 99 persen konflik lahan di Bali terjadi antara rakyat dan investor,” katanya. Ia mengajak mahasiswa turun membantu petani kembali memperjuangkan hak agraria.

Direktur LBH Bali, Rezky Pratiwi, menilai indeks demokrasi nasional melemah. Aksi protes terhadap proyek investasi sering mendapatkan tindakan represif.
“Bali jadi korban pariwisata berlebihan. Penting ada ruang konsolidasi agar masyarakat tetap bisa menyuarakan haknya,” ujarnya.

Baca Juga :   Gubernur Koster Tegas Bali Tak Butuh Ormas Preman, Keamanan Ditangani Negara dan Desa Adat

Agus Samijaya advokat senior menyoroti adanya sentralisasi kebijakan tanah yang membuat pemerintah daerah tidak berdaya. “Pemda seperti macan ompong hingga akhirnya terjadi kasus di Kelingking karena keputusan pusat,” jelasnya.

Mengenai rencana KEK Pejarakan, ia menyebut kawasan tersebut merupakan wilayah reforma agraria sehingga rawan berpotensi memicu penolakan masyarakat. “Kita kumpulkan data dahulu sebelum memberi penilaian lebih jauh. Namun potensi bahayanya nyata,” tambahnya.

Made Sudiantara, perwakilan warga Selasih, menuturkan masyarakat sering dirugikan oleh tumpang tindih regulasi.
“Kami dipingpong, dari daerah dilempar ke pusat. Investor tak punya kewajiban ngayah padahal membeli tanah adat,” keluhnya.

Sementara itu, Rasid dari Serikat Petani Suka Makmur menegaskan bahwa KEK Pejarakan dapat memicu keresahan karena menyangkut tanah rakyat.
Tokoh adat Jro Berata dari Kintamani juga menyinggung habisnya tebing dan kawasan TWA akibat eksploitasi investor.

Koordinator Forum Peduli Bali, Mardika menyatakan pihaknya akan menjadi wadah gerakan rakyat. “Forum Peduli Bali akan memfasilitasi kelompok-kelompok masyarakat yang terdampak persoalan agraria. Kita harus berjuang bersama, acara ini sebagai sarana merajut kebersamaan serikat petani atau korban pertanahan di Bali,” ujarnya menutup diskusi.