DENPASAR, REPORTASE BALI– Privatisasi pantai dan Pulau Serangan yang ada di jantung Pulau Dewata Bali atau persisnya di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Bali, terus menuai protes dari berbagai kalangan di Bali. Pengamat sosial budaya Bali Wayan Suyadnya mengatakan, di antara gemerlapnya pusat pariwisata Bali di Nusa Dua, Sanur, Kuta, dan hingar-bingar Bandara Ngurah Rai, orang Bali tidak akan lupa Pulau Serangan, sebuah pulau kecil yang begitu indah di sisi selatan Kota Denpasar. Di Serangan itu ada sebuah dunia yang damai, sakral, dan penuh sejarah, namun kini berada dalam pusaran paradoks modernitas. Pantai di Pulau Serangan hilang digantikan dengan nama Pantai Kura-kura Bali. “Akankah ini juga menghilangkan ‘peta’ Serangan menggantikan dengan nama lain yaitu Kura-Kura Bali?” tanyanya, Rabu (29/1/2025).
Ia menjelaskan, Pulau Serangan ini bukan sekadar hamparan pasir putih dan laut yang berkilauan. Ia adalah palemahan bagi Pura Sakenan, pura tua yang suci, tempat umat Hindu Bali bersembahyang kepada Dewa Varuna.
Tempat ini adalah saksi bisu perjalanan spiritual masyarakat Bali, dari zaman Dang Hyang Nirartha hingga kini.
Dalam setiap perayaan Kuningan, Pulau Serangan menjadi magnet bagi ribuan umat yang ingin merasakan kedekatan dengan leluhur dan dewata. “Namun, perubahan datang tanpa mengetuk pintu. Ketika pemerintah pusat menetapkan Pulau Serangan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kura-Kura Bali, paradoks itu hadir begitu nyata. Alih-alih mengembangkan potensi yang sudah melekat di pulau ini, investasi besar malah mengubah identitasnya,” ujarnya.
Serangan perlahan menghilang dari peta. Di Google Maps, namanya tak lagi muncul, tergantikan oleh Pulau Kura-Kura. Jalanan masuk ke Desa Serangan yang dahulu bertuliskan Jalan Pulau Serangan kini berubah menjadi Jalan Pulau Kura-Kura. Seolah-olah sebuah pulau bisa dijual begitu saja, lalu dibaptis ulang dengan nama baru, seakan sejarahnya tak pernah ada.
“Jika hari ini Serangan bisa berubah menjadi Kura-Kura, apakah esok Bali akan berubah nama menjadi sesuatu yang lebih menguntungkan? Di balik kemegahan investasi dan janji kesejahteraan, ada pertanyaan yang menggantung, apakah pembangunan ini benar-benar untuk masyarakat Bali, atau hanya untuk kepentingan segelintir orang? Apakah akar budaya dan spiritual yang telah berakar ratusan tahun masih dihargai, atau akan tergilas oleh gelombang kapitalisme?” sinisnya.
Pulau Serangan tak hanya sekadar sebuah pulau. Ia adalah bagian dari jiwa Bali. Jika namanya saja bisa diubah begitu mudah, bagaimana dengan sejarah, budaya, dan hak-hak penduduknya? Mungkin ini bukan sekadar cerita tentang sebuah pulau kecil di Denpasar. Ini adalah cerminan dari bagaimana dunia modern sering kali datang dengan janji-janji manis, hanya untuk kemudian mengambil lebih banyak dari yang diberikannya. “Sebuah dunia paradoks, di mana keindahan dijual, identitas dihapus, dan tradisi perlahan digerus oleh kepentingan ekonomi,” ujarnya.