Himbara Diminta Transparan Soal Pemotongan Biaya Administrasi dalam Pembelian Perdana Kartu E-money Airport

0
187

DENPASAR, REPORTASE BALI- Himpunan Bank Negara (Himbara) diminta transparan dan secara terbuka menjelaskan ke publik atau customer terkait dengan pemotongan biaya administrasi sebesar Rp 30 ribu dalam pembelian kartu perdana E-Money Airport senilai Rai Rp.50 ribu. Sebab, warga yang membeli kartu perdana dengan harga Rp 50 ribu namun saldo yang tersisa tinggal Rp 20 ribu, karena sudah dipotong Rp 30 ribu secara otomatis oleh bank yang tergabung dalam Himpunan Bank Negara (Himbara), Bank BRI, Bank BNI dan Bank Mandiri. Kartu E- Money yang diprotes warga karena saldo nol ternyata sudah dipotong itu memantik reaksi sejumlah warga yang menggunakan kartu tersebut.

Praktisi hukum Bali Rudy Marjono mengatakan, pemotongan oleh perbankan dengan alasan apa pun perlu dijelaskan ke publik, terutama publik yang membeli kartu perdana tersebut.
“Saya memahami keresahan masyarakat terkait harga kartu e-elektronik yang dijual Rp50.000 tetapi hanya berisi saldo Rp20.000. Dari perspektif perlindungan konsumen, transparansi adalah hal yang wajib dijunjung tinggi. Konsumen berhak mendapatkan informasi yang jelas mengenai komponen harga yang dibayarkan, termasuk biaya kartu dan saldo yang tersedia,” kata Rudy Marjono, Selasa (5/2/2025).

Ia mengatakan, jika masyarakat merasa ada unsur ketidakwajaran atau bahkan potensi pelanggaran, maka perlu ada klarifikasi dari pihak penerbit kartu. Apakah ada biaya produksi, administrasi, atau hal lain yang mendasari harga tersebut? Jika memang biaya tersebut masuk akal dan diinformasikan dengan jelas sejak awal, maka secara hukum tidak ada pelanggaran.
“Namun, jika terdapat unsur yang menyesatkan atau merugikan konsumen, maka hal ini bisa menjadi persoalan yang perlu ditindaklanjuti pihak berwenang, seperti Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK) jika terkait dengan sistem pembayaran,” ujarnya.

Baca Juga :   Tepat Dihari Puputan Ke-112 Tahun, Klungkung Terima Benda Pusaka Dari Belanda

Masyarakat sebagai konsumen juga bisa mengajukan aduan resmi agar ada kejelasan dan evaluasi terhadap kebijakan harga ini. Jika memang ada potensi pelanggaran, maka perlu ada tindakan yang adil bagi semua pihak, baik konsumen maupun penyedia layanan. “Dalam kasus ini, kita dapat merujuk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen) untuk melihat apakah terdapat pelanggaran,” ujarnya.

Menurutnya, beberapa pasal yang relevan antara lain pasal 4 (hak konsumen), konsumen berhak diantaranya ,endapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa (huruf c)
Huruf h, konsumen mendapatkan kompensasi atau ganti rugi jika barang/jasa tidak sesuai dengan perjanjian.
“Jika konsumen merasa tidak mendapatkan informasi yang transparan mengenai komponen harga kartu (apakah Rp50.000 itu untuk saldo atau termasuk biaya kartu), maka ada potensi pelanggaran terhadap hak konsumen,” tegas ketua Konsorsium Penegakan hukum Indonesia (KOPHI) ini.

Selain itu pasal 8 ayat (1) (larangan bagi pelaku usaha). Pelaku usaha dilarang tidak mencantumkan informasi mengenai barang/jasa secara benar dan jelas (huruf f). Sementara (huruf g) tidak mencantumkan harga yang lengkap dan benar. “Jika harga kartu dijual tanpa penjelasan mengenai pembagian antara saldo dan biaya administrasi, maka dapat dianggap sebagai tindakan yang tidak transparan dan berpotensi melanggar ketentuan ini,” tegasnya.

Sementara di pasal 10 menyebutkan, pelaku usaha dilarang menawarkan, mengiklankan, atau mempromosikan barang/jasa secara tidak benar, menyesatkan, atau seolah-olah mengandung potongan harga yang tidak sesuai. “Jika dalam promosi atau penjualan kartu e-money ini ada kesan bahwa harga Rp50.000 akan langsung menjadi saldo penuh, tetapi faktanya hanya Rp20.000, maka bisa dikategorikan sebagai pelanggaran,” kritiknya.

Dengan demikian kesimpulan antara lain, informasi mengenai harga dan komposisi saldo tidak dijelaskan dengan transparan, maka ada indikasi pelanggaran terhadap Pasal 4, Pasal 8, dan Pasal 10 UU Perlindungan Konsumen. Dan masyarakat bisa menggunakan haknya untuk melakukan upaya hukum baik pidana dan perdata berdasarkan potensi pasal UUPK yang dilanggar. Jika terbukti bahwa penerbit kartu e-money melanggar Pasal 8 atau Pasal 10, mereka bisa dikenakan pidana maksimal 5 tahun atau denda hingga Rp2 miliar. Selain itu, konsumen dapat menuntut ganti rugi sesuai Pasal 19. Jika pelanggaran dianggap serius, izin usaha mereka juga bisa dicabut.

Baca Juga :   Dimulainya Tahun Ajaran Baru 2020/2021, Kepala Sekolah Diminta Segera Melakukan Inventarisasi