MAUPONGGO, REPORTASE BALI- Setelah penolakan dari Lingkungan Pajoreja, Desa Ululoga, Kecamatan Mauponggo, Kabupaten Nagekeo, Keuskupan Agung Ende, selaku pemilik wilayah yang disurvei tim ahli geologi untuk dieksplorasi, kini giliran penolakan terhadap rencana eksplorasi Geotermal di Pajoreja datang dari Lingkungan Dhawe, Paroki Wolosambi, Kevikepan Mbay, Keuskupan Agung Ende. Puluhan perwakilan tokoh masyarakat di Lingkungan Dhawe, Desa Lodaolo langsung deklarasi penolakan terhadap rencana eksplorasi Geotermal di perbatasan Pajoreja dan Dhawe tersebut. Deklarasi penolakan dipimpin langsung oleh Pater Felix Bhaghi, SVD selaku Ketua Aliansi Terlibat Bersama Korban Geotermal Flores.
Ketua Lingkungan Dhawe Emanuel Kristo Ndala saat dikonfirmasi Selasa (22/4/2025) menjelaskan, deklarasi penolakan terhadap rencana eksplorasi Geotermal di perbatasan Pajoreja dan Dhawe dilakukan karena kedua wilayah tersebut berdampingan persis di lereng Gunung Ebulobo. “Kenapa kami juga menolak. Kita belajar dari pengalaman untuk wilayah yang paling dekat, sudah pasti berdampak, mulai dari ancaman krisis air bersih, bau busuk mineral, dan sejenisnya. Kami harus menolak, karena kami juga akan kena imbasnya,” ujarnya.
Deklarasi penolakan dihadiri oleh semua tokoh masyarakat, perwakilan dari seluruh KUB yang ada di Lingkungan Dhawe, para tokoh masyarakat dari seluruh suku dan anak kampung yang ada di Lingkungan Dhawe. Deklarasi dilakukan langsung berlatarbelakang Gunung Ebulobo yang menjulang megah. Deklarasi dilakukan usai mendapat penjelasan langsung dari Pater Felix Bhaghi, SVD selaku Ketua Aliansi Terlibat Bersama Korban Geotermal Flores. Dalam sepekan atau selama pekan suci, Pater Felix Bhaghi, SVD memberikan edukasi dan sosialisasi kepada seluruh umat tentang daya rusak geotermal di Flores.
Menurut Pater Felix Bhaghi, SVD, daya rusak geotermal di Flores akan sangat panjang bila masyarakat tidak dijelaskan mulai saat ini. “Pasca ditetapkan Flores sebagai Pulau Geotermal, rencana eksplorasi dan survei terjadi di beberapa titik di seluruh Flores. Kita bukan menolak Geotermalnya, tetapi kita menolak jika itu dieksplorasi di Flores karena secara lokalitas, secara sosial ekonomi, secara ekologis sangat merugikan masyarakat Flores. Kami sudah mendata ada sekitar 21 titik geotermal di seluruh Flores yang didata oleh otoritas untuk dieksplorasi. Kondisi akan sangat berbahaya bagi keberlangsungan hidup lingkungan hidup lainnya. Karena ini kita perlu perlawanan secara massal agar bumi yang subur dan kaya raya ini tidak dirusak oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab,” ujarnya. Dosen Filsafat di Seminari Tinggi St Paulus Ledalero ini ikut ke lokasi yang pernah disurvei bersama dengan perwakilan umat dari dua desa di Kecamatan Mauponggo, Kabupaten Nagekeo.
Dalam pengamatannya, daerah yang berlokasi di lereng Gunung Ebulobo ini sudah sangat sejuk, kaya dan harmoni. “Saat ini kita belum membutuhkan listrik untuk produksi. Kita harus mencurigai kepentingan kapitalis di balik proyek geotermal ini,” ujarnya. Ia mengatakan, belajar dari pengalaman eksplorasi Geotermal di Mataloko dan Sokoria, dimana dokumen AMDAL tidak disosialisasikan, proyeknya gagal pada tahap pertama, kemudian dibor lagi pada tahap selanjutnya di beberapa titik yang membuat lingkungan rusak dan air menjadi keruh, suhu udara memanas dan tercium bau amis seperti belerang. “Mari kita bersatu menolak rencana eksplorasi Geotermal yang sudah disurvei oleh tim ahli geologi dari otoritas terkait. Kita belum butuh listrik untuk produksi, untuk industri dan sebagainya. Masih ada sumber daya alam yang lain yang bisa dikembangkan menjadi tenaga listrik tanpa harus merusak bumi,” ujarnya.