Tolak Geotermal, Warga Minta Cabut Kepmen ESDM Soal Penetapan Flores Jadi Pulau Geotermal

0
37

FLORES, REPORTASE BALI– Penolakan terhadap eksplorasi Geotermal di Flores terus menguat. Pada hari Lingkungan Hidup yang jatuh pada tanggal 5 Juni 2025 lalu, masyarakat di 4 kabupaten di Pulau Flores melakukan aksi secara serentak yakni Kabupaten Ende, Kabupaten Nagekeo, Kabupaten Ngada dan Kabupaten Manggarai (Poco Leok). Ketua Aliansi Terlibat Korban Geotermal Flores (KGF) Pater Felix Bhaghi SVD saat dikonfirmasi Minggu (8/5/2026) membenarkan terjadi aksi damai di 4 kabupaten sekaligus. “Betul, ada aksi damai di empat kabupaten dalam rangka menolak Geotermal di Flores. Semuanya berjalan baik dan lancar. Namun kami hanya mendapat informasi bahwa yang di Kabupaten Manggarai ada sedikit masalah, diduga ada miskomunikasi. Namun semuanya berjalan lancar dan aman,” ujarnya.

Ia mengatakan, yang melakukan aksi bukan hanya masyarakat saja, tetapi ikut terlibat juga seluruh elemen lainnya seperti JPIC KAE, JATAM, WALHI NTT, Alter-KGF, JPIC OFM, JPIC SVD, JPIC SSpS. Semuanya menyatakan dengan tegas menolak proyek panas bumi (Geothermal) yang sekarang beroperasi di Mataloko-Kabupaten Ngada, di Sokoria, Kabupaten Ende, di Poco Leok- Kabupaten Manggarai, di Atadei, Kabupaten Lembata, dan rencana pembukaan lahan baru geothermal di Kabupaten Nagekeo di Kecamatan Mauponggo dan Aesesa Selatan. “Pembangunan proyek-proyek geothermal di Flores telah mengabaikan prosedur yang baik dan benar, tidak menghiraukan suara warga serta tanpa melalui persetujuan kebanyakan masyarakat (tanpa social-license). Hal yang telah terjadi adalah perampasan ruang hidup warga melalui pendekatan gerilya dari pihak-pihak yang berkepentingan. Laporan tentang kerusakan ekosistem, pencemaran air sungai, kegagalan panen, kerusakan atap rumah, polusi udara, dan berbagai masalah kesehatan warga tidak ditanggapi pemerintah dan instansi terkait,” ujarnya.

Sejumlah warga yang berasal dari desa terdampak menolak pengambilan air dari sumber air bersih dan dari sungai sumber irigasi pertanian mereka. Selain itu, ada korelasi antara wilayah sekitar pemboran dan keretakan tanah yang menyebabkan runtuhan sejumlah rumah adat dan pekuburan massa di Nua-Olo Nage,Jerebuu. Aktivitas pengeboran telah memicu keretakan tanah dan kerusakan rumah-rumah warga, serta menyebabkan pengungsian warga ke tempat lain. Telah terjadi emisi gas beracun seperti H2S dan CO2, setiap hari, dan hal ini menyebabkan pencemaran udara yang sangat mengganggu kesehatan warga terlebih bagi bayi-bayi dan balita.

Baca Juga :   BI Bali Edukasi Tugas Kebanksentralan bagi Awak Jurnalis

Proyek Geothermal telah menyebabkan wajah bumi terluka (Daratei, Sokoria dan Atadei), mendatangkan limbah bagi masyarakat (Sokoria), menimbulkan konflik horisontal antar warga (Ulubelu), pelanggaran hukum (proyek dibangun tanpa lisensi mayoritas warga), intimidasi pihak keamanan terhadap tua-tua adat (Sokoria), dan pengabaian keterlibatan warga dalam proses pengambilan keputusan. Proyek telah merampas ruang hidup warga, dan tidak mendatangkan keuntungan yang nyata.
“Kami butuh tanah untuk makan dan minum. Kami butuh pendidikan gratis dan bantuan kesehatan bagi semua yang sakit. Kami telah menyadari bahwa kebutuhan untuk meningkatkan listrik adalah kedok dan intrik permainan para penguasa yang bersekongkol dengan kaum kapitalis untuk merampas ruang hidup warga. Kami tidak mau diperalat oleh “logika sesat” dan strategi penipuan kaum kapitalis dan para pejabat yang telah bersekongkol,” ujarnya.

Proyek panas bumi telah menyebabkan kegagalan panen bagi para petani. Warga menuntut agar proyek panas bumi harus diaudit secara independen demi pemulihan keutuhan alam dan ciptaan. “Kami menuntut Gubernur NTT dan para Bupati serta semua anggota DPR sedaratan Flores untuk bertanggungjawab atas penyembuh luka batin, pemulihan psikologi dan keresahan sosial yang telah terjadi di antara warga di wilayah terdampak. Semua pemimpin yang duduk di kursi kekuasaan telah dipilih rakyat, dan sebagai konsekuensi, para pemimpin harus menjaga dan memperjuangkan hak sipil, hak politik, hak sosial dan hak budaya warga dengan bijaksana dan penuh tanggungjawab,” ujarnya.

Kami tidak mau kehilangan “hak dasar untuk menentukan nasib sendiri” (the right to self-determination), dan karena itu, kami menolak keterlibatan aparat keamanan yang mengintimidasi dan melakukan terror serta ancaman terhadap para pemegang hak ulayat, terhadap para aktivis HAM, para pejuang lingkungan hidup, dan para pemuka agama yang membela HAM dan keutuhan alam ciptaan.

Baca Juga :   Digelar Pada 14 – 17 Juni 2022 Mendatang, BBTF 2022 Angkat Program Pemulihan Ekonomi Indonesia Melalui Pariwisata

Kami menuntut agar semua dokumen AMDAL dan dokumen lain tentang proyek-proyek panas bumi di seluruh Flores harus dibuka ke ruang publik agar tidak menimbulkan kecurigaan warga terhadap persekongkolan pemerintah dan kapitalis demi proyek-proyek geothermal. Kami mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang objektif dan tidak ditipu. Kami juga mempunyai hak untuk mencari tahu (hak atas kebenaran) informasi tentang prosedur pelaksanaan proyek geothermal di wilayah kami. Kami mempunyai hak untuk hidup di dalam lingkungan sosial, budaya dan pendidikan yang menjamin kebenaran dan keyakinan kami atas nilai-nilai luhur yang bermartabat.

Dalam aksi serentak di 4 kabupaten tersebut, warga menyampaikan 10 butir tuntutan kepada pemerintah pusat. Salah satunya adalah meminta kepada pemerintah pusat agar mencabut penetapan Flores sebagai pulau Geotermal pada tahun 2017 lalu. Berikut ini 10 tuntutan yang diajukan kepada pemerintah pusat. Pertama, hentikan operasi proyek geothermal dan melakukan audit lingkungan dari pihak konsultasi independen. Kedua, pulihkan kerusakan lingkungan, keretakan tanah, pencemaran udara dan air sebagai sumber hidup warga dan sumber irigasi pertanian warga. Ketiga, beri kompensasi yang adil dan merata bagi warga yang terdampak, seperti kerusakan rumah, kegagalan panen, gangguan kesehatan, dan pendidikan. Keempat, hentikan ekspansi industri ekstraktif di seluruh wilayah kepulauan Indonesia. Kelima, cabut semua izin tambang, panas bumi, dan proyek energi “hijau” yang merampas tanah dan merusak lingkungan.

Keenam, cabut Keputusan Menteri ESDM nomor 2268 K/30/MEM/2017 yang menetapkan Flores sebagai “Pulau Panas Bumi”. Ketuju, hentikan kriminalisasi dan intimidasi terhadap warga, aktivis, jurnalis, rohaniwan/ti dan pendamping hukum yang memperjuangkan hak hidup. Kedelapan, pulihkan hak masyarakat adat dan petani atas tanah, hutan, dan wilayah kelola mereka secara utuh dan tanpa syarat. Kesembilan, audit dan hukum korporasi serta para pejabat negara yang terlibat dalam penyuapan (korupsi sumber daya alam) sehingga menyebabkan kerugian negara. Kesepuluh, bangun politik demokratis yang bersumber pada kebijakan demi kebutuhan warga sebagai prioritas, berasaskan pada kedaulatan dan kesejahteraan rakyat, dan bukan pada kemakmuran pihak-pihak tertentu dan hanya demi kepentingan para pemodal.

Baca Juga :   Kepala BNPB Tinjau Lokasi Terdampak Awan Panas Guguran Gunung Semeru Melalui Udara