Bali Perlu Belajar dari Kasus Raja Ampat Sebelum Rencana Pembangunan Terminal FSRU LNG di Sidakarya Dilakukan

0
29

DENPASAR, REPORTASE BALI- Pemprov Bali bersama seluruh stakeholder lainnya perlu belajar dari kasus Raja Ampat Papua. Sebab kasus Raja Ampat itu berawal dari kontroversi publik. Hal ini disampaikan Ketua LMND Eksekutif Wilayah Bali I Made Dirgayusa saat ditemui di Denpasar, Kamis (19/6/2025). Sebab, tambang nikel di Raja Ampat menuai kontroversi publik nasional, dan akhirnya Presiden Prabowo Subianto mengambil sikap tegas menutup operasional tambang nikel tersebut. Setelah tambang nikel di Raja Ampat, kini perhatian tertuju pada Bali, yang menghadapi polemik serupa soal pembangunan Terminal Apung LNG di Sidakarya, Denpasar Selatan.

Ia menilai, rencana pembangunan terminal FSRU LNG di Sidakarya saat ini menjadi kontroversi publik di Bali. Dalam pengamatan dirinya, publik yang menolak rencana pembangunan FSRU LNG sangat masif, terutama para pelaku pariwisata, aktifis lingkungan hidup, warga di Serangan, Sidarkarya, Intaran Sanur dan sebagainya. “Di tengah situasi sosial dan lingkungan pesisir yang rapuh, proyek FSRU LNG Sidakarya dinilai terlalu dipaksakan. Padahal, di Bali Utara tepatnya di Celukan Bawang, Buleleng sudah dirancang pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) 900 MW lengkap dengan LNG hub. Lalu, mengapa Sidakarya tetap jadi pilihan?,” tanyanya.

Disebutkan, infrastruktur energi bersih di Buleleng sudah siap. PLTG Celukan Bawang terdiri dari dua unit turbin gas 450 MW yang direncanakan beroperasi mulai 2029. Lokasi ini memiliki pelabuhan (jetty), jaringan transmisi 150 kV ke Bali Selatan, serta lahan luas yang memang dialokasikan untuk pembangkit. Bahkan, AMDAL sedang diproses dan rencana LNG hub darat tengah dibahas. Proyek yang sudah digarap ini dikacaukan lagi dengan rencana pembangunan terminal FSRU LNG di Sidakarya.

Untuk diketahui, Sidakarya terletak di kawasan padat penduduk, dekat wisata Sanur dan zona konservasi Tahura Ngurah Rai. Wilayah ini juga menjadi ruang hidup nelayan dan masyarakat adat Sanur, Intaran dan Serangan.
Proyek itu akan mengeruk laut hingga kedalaman 20 meter, yang berpotensi merusak terumbu karang, padang lamun serta mencemari ekosistem dan mata pencaharian lokal.

Baca Juga :   Hari Menanam Pohon Indonesia di Bali Dipusatkan di Pura Luhur Pakendungan Tanah Lot

Dalam sebuah Talkshow yang digagas oleh SMSI Denpasar, Senin, 16 Juni 2025 bertajuk “Menakar Dampak Pangkalan LNG terhadap Pariwisata Kota Denpasar” isu ini juga ramai dibahas baik oleh para narasumber dan juga hangat dalam diskusi. Salah satu narasumber Ngurah Paramartha mengkritik lokasi Terminal Apung LNG yang dekat kawasan suci Pura Sakenan dan menyoroti kecenderungan semua proyek bermuara ke Serangan. Sementara itu, I Made Mendra Astawa menegaskan, bahwa investasi tidak boleh menghancurkan warisan leluhur. “Jadikan Bali sebagai warisan terakhir Nusantara,” terangnya.

Pasca Bali mengalami blackout, PLTU Celukan Bawang didatangi Komisi III DPRD Bali pada 6 Mei 2025. Ketua Komisi III, Nyoman Suyasa menekankan pentingnya peran pembangkit ini sebagai penyumbang 30 persen energi Bali. Dikatakan pula, bahwa penggunaan bahan bakar gas di Celukan Bawang sebagai langkah menuju energi yang lebih ramah lingkungan dan berkapasitas besar hingga 900 MW jika dua unit dijalankan. Hal ini dinilai cukup untuk menjamin pasokan listrik Bali secara menyeluruh.

Dalam talkshow yang sama, pelaku Pariwisata Yusdi Diaz mengkritik narasi energi yang digunakan untuk membenarkan proyek FSRU LNG Sidakarya. “Isu itu harus secara jujur disampaikan, jangan bilang bahwa LNG ini akan menyelesaikan persoalan listrik. Soal listrik mati ini kan soal mesinnya yang mati, bukan bahan bakarnya habis,” urainya.

Yusdi Diaz juga menambahkan, bahwa memaksakan pembangunan di Sidakarya hanyalah gimik. “Tempat itu tidak layak untuk terminal, kalau mau mandiri, buat yang besar sekaligus di tempat lain, entah di utara, entah di timur, yang mana lebih memungkinkan kita buat yang besar dan bisa menyuplai seluruh Bali,” ungkapnya.

Yusdi Diaz juga mengkritik narasi energi yang digunakan untuk membenarkan proyek. Pembangunan Terminal Apung LNG Sidakarya terkesan lebih didorong motif non-teknis, yakni politik proyek, kepentingan kelompok dan percepatan jangka pendek. Padahal, dari segi teknis, sosial, ekologis, dan logistik, Celukan Bawang jauh lebih unggul. Jika benar ingin membangun masa depan energi bersih, keputusan harus berbasis logika infrastruktur bukanlah tekanan bisnis. Jangan sampai mimpi energi bersih justru berubah jadi mimpi buruk sosial dan ekologis.

Baca Juga :   massa Gelar Aksi tolak reklamasi teluk Benoa

Pertanyaan penting adalah jika proyek besar energi sudah ada di utara, kenapa membangun proyek kecil berisiko di selatan? PT Dewata Energi Bersih (PT DEB) adalah joint venture antara PT Padma Energi Indonesia dan Perusda Bali, dengan dukungan teknis dari PT Titis Sampurna. PT DEB tengah mendorong pembangunan Terminal Apung LNG setinggi 50 meter, sekitar 500 meter dari Pantai Mertasari, Sanur. Dengan narasi transisi menuju “Energi Bersih”, gas alam, yang tetap bahan bakar fosil dipromosikan sebagai solusi ramah lingkungan, meski banyak pihak menolak klaim ini.

Terminal ini dirancang beroperasi 20 tahun dengan investasi diperkirakan Rp 4,5 triliun. Nilai transaksi pembelian gas oleh PLN bisa mencapai Rp 30-40 trilyun. Skala sebesar ini menuntut transparansi dan partisipasi publik penuh. “Kasus ini mencerminkan pola serupa dengan proyek tambang nikel di Raja Ampat: dibungkus narasi energi bersih, tapi menyimpan bahaya lingkungan dan sosial besar,” tutupnya.