Kejar Target Three Zero Kasus HIV, Pemkot Denpasar Libatkan LSM

0
146

DENPASAR, REPORTASE BALI -Untuk menekan kasus kematian serta stigma dan diskriminasi pada ODHIV, Pemerintah Kota (Pemkot) Denpasar melalui Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Denpasar menggandeng Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) melalui program Swakelola Tipe III. “Program ini dibiayai APBD tapi pelaksananya adalah teman-teman LSM sesuai dengan kapasitas mereka,” kata Sekretaris KPA Denpasar Tri Indarti dalam diskusi dengan media di Denpasar, Senin (16/9/2025).

“Misalnya, dalam hal penjangkauan, pendampingan dan layanan lainnya karena kondisi ODHIV yang masih tertutup atau tersembunyi,” katanya.

Adapun program yang dilaksanakan adalah penjangkauan Orang dengan HIV (ODHIV) yang putus pengobatan Anti Retroviral (ARV) untuk menekan virus HIV sehingga beresiko tinggi mengalami sakit hingga kematian. Program ini dipadukan dengan program Notifikasi Pasangan dimana ODHIV diminta memberikan dorongan untuk mendorong pasangannya agar menjalani test HIV sehingga akan diketahui statusnya.

Program yang pada tahun 2024 dianggarkan senilai Rp 68,8 Juta itu dilaksanakan oleh Yayasan Spirit Paramacitta. Kegiatan lainnya yang dibiayai dengan swakelola adaalh adalah pelatihan Sexual Orientation, Gender Identity and Expression, and Sex Characteristics (SOGIEC) dan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi.

Kegiatan dilaksanakan oleh Yayasan Gaya Dewata dengan tujuan untun menekan stigma dan diskriminasi akibat perbedaan orientasi seksual di layanan-layanan kesehatan. Anggarannya mencapai Rp 46,4 Juta.

Pelaksanaan Program Swa Kelola
Direktur Direktur Yayasan Spirit Paramacitta adalah Putu Ayu Utami Dewi menyatakan, program LFU menyasar 100 orang ODHIV dengan melibatkan 5 petugas Penjangkau Lapangan (PL) yang juga dari kalangan ODHIV.

Dari 100 ODHIV yang dijangkau diketahui 6 orang yang telah meninggal, 9 orang menolak dirujuk untuk menjalani pengobatan ARV, 48 klien menunda pengobatan, 23 klien bersedia kembali menjalani pengobatan dan 14 klien tidak ditemukan alamatnya. “Alasan menolak atau menunda karena merasa sudah sehat dan menjalani pengobatan alternatif atau karena kondisi pekerjaan yang tidak memungkinkan,” sebutnya.

Baca Juga :   Pertemuan Cokorda Pemecutan dan Senator Arya Wedakarna, Ini yang Dibahas...

Program ini akan dilanjutkan pada tahun 2025 dengan target 50 – 70 persen akan mau mengakses kembali layanan kesehatan. “Dari program tahun 2024, kami telah merumuskan berbagai strategi yang mungkin bisa diterapkan di lapangan,” tegasnya.

Misalnya, PL bisa membawa foto kondisi mereka saat putus obat atau penggambaran bagaimana resiko keluarga ketika ODHIV mengalami sakit. “Jadi dari PL sendiri memang harus bisa mendekati klien sehingga meras nyaman untuk mengungkapkan kondisi mereka yang sebenarnya,” katanya.
ODHIV yang terindentifikasi pun sudah dikategorikan tingkat kesulitannya sehingga bisa disipakan stragetgi yang berbeda.

Sementara Juru bicara Gaya Dewata Kimora menyatakan, pelatihan SOGIESC diperlukan karena di layanan sering ditemukan pengalaman yang membuat kurang nyaman. Misalnya, transgender dipanggil sesuai nama di KTP sehingga yang berpenampilan sebagai perempuan dipanggil dengan nama laki-laki akan merasa kurang nyaman dengan pandangan orang di sekitarnya. “Kadang mereka memilih untuk tidak berdiri. Harusnya dipanggil dengan kode atau nama julukan yang telah diberikan,” katanya.

Kegiatan telah dilaksanakan menjangkau 20 petugas layanan kesehatan, pendamping ODHA dan penjangkau kelompok populasi beresiko dengan anggaran Rp 46,465 juta.

Program Swa Kelola tipe III di tahun 2025.

Program Swakelola akan dilanjutkan pada tahun 2025 berupa. Penjangkauan LFU dan notifikasi pasangan senilai Rp 57,3 Juta oleh YSP, kemudian pemetaan populasi kunci senilai Rp 25 juta oleh Yayasan Kerti praja dan penyediaan Jasa Tenaga Penjangkau dan pendamping ODHIV senilai Rp 199,2 Juta oleh YKP. “Totalnya Rp 281, 6 juta,” kata Sekretaris KPA Denpasar Tri Indarti.
Program swakelola kata dia adalah bagian dari upaya mencapai target Threee Zero dalam penanggulangan HIV hingga 20230. Yakni Zero penularan HIV, zero kematian akibat HIV dan zero stigma dan diskriminasi.

Baca Juga :   Barang Ilegal Senilai Rp 3,6 Milyar Dimusnahkan BC Denpasar

Temuan Kasus HIV di Denpasar tiap tahun berkisar antara 800- 900 kasus baik dari kalangan heteroseksual, homoseksual, pecandu, penularan dari ibu dan anak, dan lain-lain. Dominasi dari segi usia masih di usia produkrif. “Sampai Juli pada tahun ini ada 518 kasus,” sebutnya.

Di Denpasar sendiri ada 33 Layanan Voluntary Consulting Test (VCT) baik di Puskesmas, Rumah Sakit dan Klinik milik Yayasan. Ada 31 diantaranya juga sudah menyediakan layanan ARV. Hal ini menunjukkan kesiapan Denpasar dari segi infrastruktur layanan kesehatan.