Pesan Gubernur Koster di Hari Manis Kuningan: Keikhlasan dan Pengendalian Diri sebagai Ibadah yang Tak Pernah Selesai

0
63
Gubernur Bali, Wayan Koster

DENPASAR – Suasana pagi Manis Kuningan, Minggu (30/11/2025), terasa lebih teduh ketika sebuah pesan singkat dari Gubernur Bali Wayan Koster beredar melalui WhatsApp. Pesan itu berisi ungkapan reflektif yang selaras dengan penutup rangkaian hari raya Galungan–Kuningan.

“Menolong tanpa syarat, menerima tanpa melupakan, dan memberi tanpa mengingat,” tulis Koster dalam pesan pertamanya. Kalimat tersebut datang di tengah suasana Bali yang mulai mereda setelah rangkaian panjang persembahyangan Galungan dan Kuningan.

Tak lama berselang, pesan kedua menyusul. “Proses menuju penyatuan jiwa dan raga dengan alam semesta, syarat mutlak mampu menghilangkan egoisme dan berbagai keterikatan,” tulisnya lagi.

Dua pesan itu memberi sentuhan akhir yang menenangkan bagi umat Hindu Bali yang baru saja melalui rangkaian hari raya. Ketika dupa terakhir padam dan penjor mulai menunduk tertiup angin pagi, Bali memasuki fase hening yang mengajak umat lebih banyak merenung.

Sejak Galungan, rumah-rumah masyarakat telah dipenuhi aktivitas pembersihan, penyusunan banten, dan persembahyangan yang dilakukan dari pagi hingga sore. Namun Manis Kuningan selalu menjadi momen penutup yang lebih lembut—hari ketika ritme kehidupan kembali melambat.

Dalam suasana itulah pesan Koster terasa menyatu. Pesan pertama yang menekankan keikhlasan dan ketulusan memberi, mengingatkan bahwa nilai spiritual tidak berhenti pada pelaksanaan ritual, tetapi tampak dalam cara seseorang menjalani hari-hari berikutnya.

Sementara pesan kedua mengajak masyarakat merenungkan kembali inti dari rangkaian Galungan–Kuningan, yakni perjalanan meredam ego, menyelaraskan diri dengan alam, dan menjaga hubungan manusia dengan Tuhan.

Rangkaian Galungan–Kuningan tahun ini ditutup bukan sekadar dengan persembahyangan terakhir, melainkan dengan pesan-pesan reflektif dari Gubernur Koster yang mengajak masyarakat untuk memaknai kembali spiritualitas keseharian.

Keikhlasan, ketenangan, serta kemampuan mengendalikan diri disebut sebagai ibadah yang tidak pernah selesai—nilai yang tetap relevan bahkan setelah upacara rampung.

Baca Juga :   Pastika: Hujan Batu Tidak Benar

Pada Manis Kuningan ini, Bali menutup lembaran sucinya dengan hening, doa, dan pesan yang mengajak masyarakat untuk tetap jernih memandang hidup.