DENPASAR, REPORTASE BALI- Video terkait rencana Bonnie Blue atau Tia Emma Billinger (TEB) akan kembali ke Bali usai masa cegah tangkal (Cekal) selama 6 bulan beredar luas di berbagai grup media sosial. Potongan video Bonnie Blue tersebut merupakan hasil wawancara dengan salah satu televisi swasta di Australia. Dalam video tersebut, Bonnie Blue sampai memperlihatkan surat atau dokumen resmi hasil vonis dari otoritas dari Indonesia yakni Kantor Imigrasi Ngurah Rai Bali bahwa Cekal hanya berlaku 6 bulan dan setelah itu pelaku konten kreator asusila ini akan kembali lagi untuk melakukan aktivitas produksi konten seperti biasa.
Pelaku pariwisata Bali Gregor Giostanovlatto saat dikonfirmasi Senin (22/12/2025) mengaku terkejut dengan beredarnya video tersebut. Ia mengaku, usai menonton video lengkap hasil wawancara dengan salah satu televisi asing tersebut. “Sebagai pelaku pariwisata dan warga Bali asli, saya sangat terkejut dengan pengakuan Bonnie Blue. Dia akan kembali ke Bali usai massa cekal selesai yakni 6 bulan. Bahkan surat atau dokumen yang dimilikinya diperlihatkan depan kamera. Sebagai orang Indonesia dan orang Bali kita malu. Masa negara saya dijadikan tempat produksi konten asusila, kemudian Bonnie Blue bisa edarkan di luar negeri, mendapatkan cuan. Terus hukum kita malah tidak dapat menyentuhnya sekali,” ujarnya.
Ia juga mempertanyakan otoritas Kantor Imigrasi Ngurah Rai yang telah mendeportasi Bonnie Blue. Dalam banyak pemberitaan media disebutkan bahwa Cekal diberlakukan selama 10 tahun. “Ini drama baru lagi dari aparat kita. Hukum di Indonesia dan Bali bisa dipermainkan. Ini melawan narasi resmi, dimana wanita asal Inggris itu mengaku hanya mendapat larangan masuk Indonesia selama 6 bulan, bukan 10 tahun seperti yang disampaikan pejabat imigrasi sebelumnya. Bahkan Bonnie Blue secara terang-terangan mengatakan dalam video bahwa Cekal 10 tahun itu bohong. Cuma enam bulan dan Bonnie Blue langsung tunjuk suratnya. Ini drama hukum kita. Yang malu siapa, ya kita semua, Bali terutama malu,” ujarnya.
Pengakuan Bonnie Blue yang tersebar dalam video ini seperti menyulut api dalam kasus “Bangbus” yang sebelumnya sudah memanas. Di video viral itu, Bonnie terlihat bersama sekelompok lulusan sekolah Australia di bak terbuka pickup. Hukum Indonesia akhirnya bergeser dari UU Pornografi ke pelanggaran lalulintas. Hasil penggerebekan dengan sejumlah barang bukti berupa kondom, minyak pelumas, alat bantu seks, kamera dan sebagainya dinyatakan tidak terbukti di UU Pornografi karena pasal-pasal yang ada di dalamnya tidak menemukan unsur pelanggaran. Awalnya, Bonnie Blue diancam dengan UU Anti-Pornografi yang berat. Namun, dasar deportasi yang akhirnya dipakai justru pelanggaran lalu lintas karena mengangkut penumpang di bak barang dengan denda hanya Rp 200 ribu.
Pria yang biasa disapa Bang Latto ini ini menyentil soal informasi resmi masa larangan masuk. Usai deportasi, pejabat Imigrasi menyatakan Bonnie Blue diharamkan masuk Indonesia selama 10 tahun. Kini, Bonnie Blue membantahnya dengan menunjukkan dokumen.
Praktisi hukum Max Widie, S.H, mengatakan, informasi laranhan masuk ke Indonesia sangat tidak transparan oleh otoritas berwenang. Sebab publik tahunya larang masuk itu selama 10 tahun. Informasi ini harus dijelaskan dengan transparan ke publik karena kasus ini sudah menyita perhatian publik. Bila dibiarkan maka akan berser kemana mana, dan menurunkan trust publik terhadap otoritas hukum di Indonesia. “Jika realitas hukumnya berbeda dan tidak diklarifikasi, yang terjadi justru erosi kepercayaan pada institusi,” jelas Widie.
Ia menambahkan, larangan 6 bulan adalah sanksi administratif standar untuk pelanggaran ringan. Sementara 10 tahun biasanya untuk tindak kriminal berat atau pengulangan pelanggaran. “Ini ujian kredibilitas serius. Dunia internasional melihat. Jika antara yang diumumkan dan keputusan akhir berbeda jauh, timbul kesan hukum tidak pasti dan dapat dinegosiasikan. Itu sangat berbahaya bagi citra Bali sebagai destinasi profesional yang aman dan tertib,” tegasnya. Ia menekankan, transparansi dan konsistensi adalah pondasi kepercayaan yang harus dijaga, terutama untuk destinasi yang mengandalkan pariwisata.


















