REPORTASEBALI, DENPASAR – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) meminta kepada seluruh perusahaan yang memiliki atau menghasilkan sampah plastik atau kemasan plastik agar secepatnya berkolaborasi dalam mendaur ulang sampah plastik yang dihasilkan.
Hal ini disampaikan Kasubdit Barang dan Kemasan Direktorat Pengolahan Sampah KLHK, Solihin Sidik bersama tim KLHK saat berkunjung selama dua hari di Bali mulai Rabu (1/12/2021) sampai Kamis (2/12/2021). Tim KLHK mengunjungi sejumlah tempat pengolahan sampah yang merupakan mitra kerja dari Indonesia Packaging Recovery Organization (IPRO).
“Saat ini baru 8 perusahan yang sudah menjadi anggota IPRO. Kami berharap agar lebih banyak lagi perusahan yang tergabung dalam IPRO untuk berkolaborasi dalam mendaur ulang sampah plastik, baik swasta maupun BUMN yang menghasilkan sampah plastik. Semakin banyak yang tergabung akan semakin baik,” ujarnya di Denpasar, Kamis (2/12/2021).
Menurut Solihin, saat ini baru 8 perusahan yang tergabung yakni Cola Cola Indonesia, Danone Indonesia, Indofood Sukses Makmur, Nestle Indonesia, Tetra Pak Indonesia dan Unilever, Sampoerna Indonesia dan SIG. Sejauh ini IPRO telah melaksanakan beberapa programnya dengan menggandeng sejumlah mitra kerja di Bali.
Mitra kerja IPRO yang dikunjungi KLHK antara lain Eco Bali, Bali PET, Mckinsey.org, dan Bali Waste Cycle. Ia meyakini bahwa untuk mengolah sampah plastik yang dihasilkan perusahaan tersebut maka perlu berkolaborasi, bekerja sama dalam penanganannya.
Tidak menutup kemungkinan jikalau sebuah perusahan bekerja sendiri karena hal ini merupakan amanat UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Sampah, tetapi lebih baik lagi kalau perusahan-perusahan itu berkolaborasi dalam wadah bersama yakni IPRO.
“Kami melihat, lebih baik jika berkolaborasi dari semua pihak terutama dalam mengumpulkan sampah kemasan, untuk dipasok ke industry daur ulang, seperti yang dilakukan di Bali ini,” ujarnya.
Bali menjadi pilot proyek mitra kerja KLHK yakni IPRO dalam tata kelolah sampah kemasan plastik. Selama dua berada di Bali, sejumlah lokasi pilot proyek ini dikunjungi yakni Eco Bali, Bali PET, Mckinsey.org, dan Bali Waste Cycle, dan juga beberapa lokasi di Kabupaten Klungkung yang dikelolah secara mandiri.
KLHK menyambut baik mitra kerja IPRO di Bali yang dengan kesadaran yang tinggi, dengan komitmen yang kuat mampu mengolah dan mendaur ulang sampah plastik dari berbagai jenis. Kunjungan ini terkait pelaksanaan Permen KLHK No. P75/2019 dimana produsen wajib menarik kembali kemasan untuk didaur ulang atau diguna ulang.
Permen tersebut mengatur, dalam pelaksanaannya, produsen dapat bekerjasama dengan pihak lain dalam penyediaan fasilitas penampungan sampah kemasan. IPRO adalah organisasi independen non profit, yang fokus pada peningkatan pengumpulan dan daur ulang sampah kemasan.
Direktur Pengelolaan Sampah, Ditjen PSLB3 KLHK Novrizal Tahar secara virtual mengatakan, menyambut baik dan mengapresiasi keberadaan IPRO sebagai mitra penting para produsen dalam penarikan dan pengumpulan kembali kemasan pasca konsumsi untuk didaur ulang. Ini adalah langkah nyata komitmen dan tanggung jawab produsen dalam implementasi peta jalan pengurangan sampah oleh Produsen. IPRO dapat menjadi model pengembangan kemitraan kolektif dalam penarikan dan pengumpulan kemasan pasca konsumsi di Indonesia.
“Saya mendukung keberadaan IPRO karena dapat menjadi langkah awal membangun ekosistem circular economy dan tentunya berharap Produsen lain dapat bergabung ke dalam IPRO. Ke depan, pola pengelolaan sampah harus berubah tidak lagi menggunakan pola linear tapi menjadi circular. Tujuannya untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan. Saat ini Indonesia tengah menuju circular economy dalam pengelolaan sampah. Circular economy bisa diwujudkan jika semua pihak berkolaborasi mengelola sampah untuk menjaga bumi tetap lestari,” ujarnya
General Manager IPRO Zul Martini Indrawati menyatakan, setiap pemangku kepentingan punya peran masing-masing. “Kami bekerja dengan secara kolaboratif dengan pendekatan Extended Stakeholder Responsibility (ESR) yakni mengajak para pemangku kepentingan, mulai dari swasta dan sektor formal maupun informal untuk mengelola kemasan pasca pakai menjadi bahan baku yang dibutuhkan oleh industri daur ulang,” kata Martini.
Melalui konsep ESR, para pemangku kepentingan terlibat bersama mengelola sampah kemasan untuk mewujudkan circular economy. Circular economy merupakan sistem yang mempertahankan nilai material agar dapat digunakan berulang-ulang dan juga mengurangi sampah.
Saat ini, Indonesia tengah menuju sistem circular economy dalam pengelolaan sampah. Untuk mengimplementasikan circular economy, salah satu program IPRO adalah bagaimana meningkatkan kapasiitas pengelolaan sampah di pusat-pusat pengumpulan seperti di TPS3R dan TPST.
Oleh karena itu, pada 15 November lalu, IPRO melakukan penandatangan MoU (Memorandum of Understanding) atau nota kesepahaman dengan PT Reciki Solusi Indonesia dalam pengembangan Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Samtaku yang berlangsung di Jimbaran, Bali. Tujuannya untuk mendukung target Pemerintah zero waste to Reciki adalah perusahaan yang berpengalaman dalam mengelola TPST.
Kerja sama itu dibutuhkan mengingat Indonesia masih dihadapkan oleh persoalan sampah yang tidak terkelola dan lebih banyak berakhir di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Melalui kolaborasi ini, IPRO dan mitra kerjasamanya berkontribusi dalam meningkatkan collecting rate dan daur ulang.
Data KLHK menunjukkan, pada 2020 tingkat daur ulang plastik di Indonesia masih 10%. Rendahnya tingkat daur ulang tersebut terjadi karena tingkat collection rate plastik juga rendah. Berdasarkan data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) pada 2020 tingkat collection rate plastik hanya 36,4 %, jauh dibandingkan capaian negara-negara Asia Tenggara lain, yang rata-rata di atas 70%.
Kondisi itu terjadi karena mayoritas pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pemerintah daerah adalah dengan menggunakan pola linear yakni, kumpul-angkut- buang (di TPA). Padahal, jika kita berkomitmen untuk Indonesia bebas sampah pada 2025, maka pola linear harus ditinggalkan dan diganti dengan pola circular yakni, pilah, kumpulkan, ciptakan sumber daya, masukan ke rantai daur ulang, dan “sulap” bahan baku itu menjadi produk baru. Dan, hanya residu yang dibuang ke TPA.
Rendahnya tingkat collection rate berbanding lurus dengan rendahnya tingkat recycle plastik. Padahal, industri daur ulang di Indonesia tumbuh. Data Kementerian Perindustrian menunjukkan, saat ini populasi industri daur ulang plastik di Indonesia berjumlah sekitar 600 industri besar dan 700 industri kecil. Nilai investasinya mencapai Rp7,15 triliun dan kemampuan produksi sebesar 2,3 juta ton per tahun, dengan nilai tambah mencapai lebih dari Rp10 triliun per tahun.