TPA Suwung Tutup, Pariwisata Bali Siap Bangkrut, Amanat UU Nomor 18 Tahun 2008 Dikerdilkan

0
441

DENPASAR, REPORTASE BALI- Sejak 1 Agustus 2025, Pemprov Bali mengumumkan jika TPA Suwung ditutup bagi sampah organik. Bukan hanya itu. Pada akhir tahun 2025 ini, TPA Suwung akan tutup total. Penutupan TPA Suwung dari sampah organik saja sudah menimbulkan reaksi pro dan kontra.

Kepala TPS3R Desa Adat Seminyak Komang Ruditha Hartawan langsung bereaksi keras atas penutupan TPA Suwung dari sampah organik dan sebentar lagi ditutup total. “Kalau TPA Suwung tutup, pariwisata Bali siap siap bangkrut. Dalam waktu yang tidak lama Bali yang gemerlap dengan industri pariwisata akan bangkrut, sebab Bali akan kotor dengan sampah. Sebab banyak turis tidak akan kembali lagi begitu mereka melihat Bali yang kotor, Bali yang penuh aroma tak sedap dengan sampah. Informasi dari mulut ke mulut dan medsos tidak bisa dicegah, tidak bisa dihalangi,” ujarnya saat dikonfirmasi di Denpasar, Jumat (1/8/2025).

Hartawan menjelaskan, dirinya sudah melalangbuana ke berbagai negara di dunia. Dan pengolahan sampah itu masalah serius bagi semua negara di dunia, bukan hanya Bali. Lalu pertanyaannya, kenapa banyak negara bisa, kenapa Bali tidak bisa. Pengalaman juga membuktikan bahwa banyak turis komplain soal sampah ketika kembali ke negaranya, mereka bercerita dengan relasinya, dengan teman kantornya, dengan keluarga dan sekaligus merekomendasikan agar jangan lagi berkunjung ke destinasi wisata dimana sampahnya tidak dikelolah dengan baik. “Saya mau tanya. Kalau TPA Suwung tutup, kemana sampah di Bali, khususnya Denpasar Badung mau dibuang, terutama saat musim sampah yang menumpuk di Pantai Kuta, Legian, Seminyak, Kelan dan sebagainya. Lalu kemana sampah residu dari Denpasar Badung, kemana sampah organik yang tidak berhasil diolah. Berapa kapasitas TPS3R mampu olah sampah organik. Jadi siap siap saja Bali bangkrut, turis akan tinggalkan Bali. Harusnya TPA Suwung dirikan pabrik sampah residu, perbaiki sistem pengolahan, bukan dengan cara ditimbun seperti sekarang ini,” ujarnya.

Baca Juga :   PGN Desak Kepolisian Usut Pengibar Bendera Hitam di Kepaon

Tokoh masyarakat Denpasar AA Susruta Ngurah Putra juga mempertanyakan ditutupnya TPA Suwung dari sampah organik. “Pemkot Denpasar siap atau tidak. Kebijakan ini aneh. Kebijakan yang terbalik. TPA Suwung malah ditutup dari sampah organik dan masih membolehkan sampah plastik atau anorganik. Padahal sampah plastik itu lebih mudah. Bernilai ekonomis dalam jangka pendek. Mudah. Lihat saja di TPS-TPS di Kota Denpasar. Semua dikerumuni pemulung. Sementara sampah organik tidak laku di TPS, dibiarkan begitu saja. Kalau ditutup, kemana sampah organik dibuang, apakah semua TPST dan TPS3R sudah mampu olah sampah organik di Kota Denpasar?” tanyanya sinis.

Ia mengatakan, saat ini rata-rata Kota Denpasar menghasilkan sampah perhari 1000 ton. Dari total ini, anggaplah sampah organik sebanyak 700 ton. Jumlah ini diolah dimana. Sebab masih banyak TPS3R yang kewalahan mengolah sampah organik. Sampah organik yang dihasilkan oleh pasar tradisional di Kota Denpasar dan sekitarnya juga belum optimal diolah berbasis sumber. Belum lagi sampai dari rumah tangga. “Pemerintah seharusnya olah sampah organik, karena sampah plastik masih bisa jadi nilai ekonomis bagi pemulung, didaur ulang dan seterusnya. Kebijakan ini kenapa terbalik ya,” ujarnya.

Akademisi dan Dosen Program Studi Agroteknologi Universitas Warmadewa Bali DR. I Nengah Muliarta menjelaskan, Pemprov Bali harusnya melakukan kajian yang komprehensif dan holistik sebelum menutup TPA Suwung entah dari sampah organik atau apa pun alasannya dan apalagi mau ditutup total pada akhir tahun 2025. “Saya berharap Pemerintah perhatikan UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang tata kelola sampah di Indonesia. Terutama di pasal 5 dan pasal 11 point a sampai d. Jangan sampai kebijakan pemerintah itu bertentangan dengan peraturan yang ada di atasnya,” ujarnya. Dalam dua pasal tersebut diatur tentang beberapa hal yakni jaminan pengolahan sampah yang baik dari pemerintah, pemanfaatan teknologi dan penelitian yang transparan, sarana dan prasarana yang memadai, edukasi dan manfaat pengolahan sampah bagi masyarakat serta kompensasi yang wajib diperoleh masyarakat bila sampah salah dikelolah.

Baca Juga :   Rai Mantra Ajak Stop Buang Sampah ke Sungai

Mantan jurnalis senior ini mempertanyakan kebijakan penutupan TPA Suwung dari sampah organik. “Pertama, apakah penutupan TPA Suwung sudah disertai kajian. Dan apa kajian tersebut sudah disosialisasikan ke masyarakat. Jangan sampai bilang TPA Suwung penuh padahal metode pengelolaan harusnya sanitary landfill tapi kenyataannya open dumping hingga saat ini. Artinya jangan sampai salah metode pengelolaan, yang disalahkan masyarakat. Kedua, apakah benar yang masuk ke TPA itu sampah, jangan sampai yang diangkut ke TPA juga limbah. Contohnya, jangan sampai limbah dari perusahaan dan instansi pemerintah terutama perkantoran juga dibuang ke TPA,” ujarnya. Mestinya perkantoran dan perusahaan punya sistem pengolahan sendiri.

Menurut Muliarta, ketika menutup TPA Suwung, sudah ada alternatif pengolahan di tempat lain. Faktanya ini belum dilakukan. Jangan sampai pemerintah menyerahkan permasalahan ke desa dengan alasan ada TPS3R. TPS3R hanya bagian dari upaya pengurangan sampah yang masuk ke TPA. “Silahkan cocokkan kembali pada aturan dalam undang undang pengelolaan sampah, dimana setiap orang berhak mendapatkan pelayanan pengelolaan sampah, apalagi mereka sudah bayar pajak. Sekarang mereka kena distribusi lagi, tapi pelayanan tidak optimal, sampah diambil kadang-kadang tapi rutin bayar,” ujarnya.

Ia mengakui, Pemprov Bali meminta masyarakat mengolah sampah berbasis sumber. Ini juga kebijakan yang mentah, sebab belum ada edukasi dan pelatihan. Sampah jadi apa, jangan hanya jadi kompos. “Ketika meminta masyarakat mengkomposkan sampah, sudahkah ada pelatihan pengomposan bagi masyarakat secara menyeluruh, metode pengomposan seperti apa yang digunakan. Sudahkah masyarakat tahu mana kompos matang dan tidak. Ketika kompos sudah jadi mau dibawa kemana? Sudahkah ada alur atau jaringan pengumpulan kompos dari pemerintah. Karena kalau mau menjual kompos harus ada izin edar dan memenuhi standar SNI,” jelasnya. Dia berharap, ketika masyarakat diminta mengelola sampah di sumber, sudah dibantu saran prasarana oleh pemerintah. “Jangan sampai melempar masalah sampah, sembunyi tanggung jawab,” ujarnya.

Baca Juga :   BAKTI SOSIAL PEDULI GN AGUNG ,bersama KELUARGA BESAR PASRAMAN SASTRA KENCANA