Wartawan yang Jadi Tim Sukses Calon Tertentu itu Mengkhianati Profesinya

0
171

DENPASAR, REPORTASE BALI-Tokoh Pers dan Penulis Besar Indonesia Dahlan Iskan (DI) tampil memukau sebagai narasumber dalam acara “Ngeraos Bareng Media” Capacity Bulding Bank Indonesia Provinsi Bali, Kamis (12/9/2024). Di hadapan puluhan wartawan dari berbeda media baik cetak maupun online di Bali tersebut, DI tampil nyentrik, kritis dan sekaligus inspiratif. Ada banyak point yang bisa dipetik dari materi yang dibawakan Menteri BUMN era SBY tersebut. Selama kurang lebih dua jam, DI menguliti wartawan sampai ke akar-akarnya.

Ada banyak nilai yang bisa menjadi inspirasi dari DI. Salah satunya, pria nyentrik ini meminta agar teman sejawatnya dilarang menjadi tim sukses dari calon tertentu. “Wartawan yang menjadi tim sukses itu mengkhianati profesinya sendiri. Sebab, wartawan itu sejak awal mula berkarir di dunia jurnalistik sudah akrab dengan tanggung jawab. Rasa tanggung jawab seorang wartawan itu sangat tinggi dan sering menggunakan hati nuraninya. Namun ketika ia menjadi tim sukses maka dia sudah mengkhianati profesinya. Sebab, sebagai tim sukses, seorang wartawan kehilangan rasa tanggung jawabnya. Entah calon itu kalah atau menang, bukan menjadi tanggung jawab seorang wartawan. Ini tidak bisa dibenarkan,” sengitnya.
Selain itu, sisi lain wartawan juga dikuliti habis. Ia menyindir, jika selama menjalankan tugas atau profesi sebagai wartawan, maka seorang wartawan baik pribadi maupun kelompoknya sering membuat perangkingan terhadap seorang pejabat atau publik figur lainnya. Wartawan sering menghitung semua atau apa saja dari seorang pejabat atau publik figur. Misalnya, pejabat itu baik atau buruk, kaya atau miskin, korupsi atau nepotisme, perilaku yang baik atau buruk, keluarganya, selingkuh atau tidak dan seterusnya. Tema ini sering diperbincangkan di warung kopi, obrolan non formal di antara para wartawan.
Sebaliknya pejabat atau publik figur juga membuat perangkingan terhadap seorang wartawan. Ada wartawan yang suka memeras, suka menakut-nakuti, suka meminta-minta, suka memelas, pura-pura baik kalau ada maunya, suka mengancam, suka minta bantuan, dan masih banyak lagi. Namun antara pejabat dan wartawan tidak saling terbuka, saling tahu, saling pegang kelemahan masing-masing. Wartawan sering mendiskusikan pejabat atau publik figur di warung kopi, tempat nongkrong dan seterusnya. Sebaliknya pejabat atau publik figur juga melakukan hal yang sama di tempat kerjanya atau dalam rapat non formal. “Sesungguhnya dalam situasi seperti inilah kebenaran dari berbagai pihak itu muncul,” ujarnya.

Ia juga meminta agar para jurnalis segera berpikir untuk berhenti menjadi wartawan. Atau harus memiliki target apakah cukup 10 tahun atau 15 tahun jadi wartawan. Sebab wartawan itu selalu menggunakan hati. Diajak jadi pengusaha gagal, karena sebuah usaha jangan terlalu menggunakan hati. Nanti banyak rugi. Disuruh jadi Caleg atau terjun ke politik banyak yang gagal karena selalu pake hati. “Makanya di Jawa Pos Grup dulu, kita mewajibkan wartawan yang sudah bekerja di atas 10 tahun kita minta dia kuliah untuk ambil jenjang S2 dengan biaya sendiri supaya dia kuliah serius. Sebab, usai jadi wartawan maka yang paling cocok adalah menjadi guru atau dosen. Jadi mulai pikirkan untuk berhenti jadi wartawan,” ujarnya.

Baca Juga :   Dorong Kepesertaan Pegawai Koperasi, BPJS Kesehatan Gelar Sosialisasi Terpadu JKN-KIS

Bila seorang wartawan memutuskan untuk tetap menjadi wartawan selamanya, maka sebaiknya dia harus menjadi pemilik media. Ia memberikan alasan, perubahan era digital ini terlampau jauh untuk diikuti orang yang sudah bekerja di atas 20 tahun menjadi wartawan. “Tapi pilih mana jadi wartawan online milik sendiri atau jadi wartawan di media online orang lain,” kata Dahlan Iskan. Pilihan itu menurutnya, tetap punya konsekuensi. Dia mengatakan, saat ini banyak media besar runtuh, sedangkan untuk bernaung menjadi wartawan di media besar juga tidak bisa diharapkan. Sementara, media online belum menjanjikan penghasilan yang baik. Ia memberikan contoh, di masa kejayaan media mainstream, sebut Dahlan, penghasilan Jawa Pos, Rp 100 miliar per bulan. Tapi, sekarang tidak begitu lagi. Dengan perubahan yang terjadi, di mana media online tumbuh subur dan menjamur akan terjadi pemerataan. Pilihan itu menurutnya yang terlihat terjadi di zaman ini. Era digital memberikan peluang kepada wartawan untuk menjadi enterpreuner. Dahlan Iskan sendiri selalu menekankan, wartawan di bawah naungan perusahan media yang dia kelola selalu didorong untuk menjadi wirausahawan.