DENPASAR, REPORTASE BALI– Warga asal Serangan, Kecamatan Denpasar Selatan mendatangi Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Denpasar, Rabu (28/5/2025). Ketiga warga asal Serangan tersebut yakni pengacara kondang Siti Sapurah atau yang lebih dikenal dengan panggilan Ipung, selaku ahli waris Daeng Abdul Kadir pemilik awal tanah, Nyoman Kemuantara selaku pemohon sertifikat tanah. Ketiganya menemui BPN Kota Denpasar untuk mempertahankan alasan permohonan sertifikat tanah yang diduga dipersulit oleh BPN dengan alasan yang tidak jelas. Dalam audiensi kali ini warga Serangan diterima oleh Kepala Seksi Penetapan Hak BPN Kota Denpasar I Wayan Sukarya.
Menurut Ipung, permohonan sertifikat tanah ke BPN patut diduga dipersulit karena tanah seluas 0,995 hektar are tersebut merupakan milik Daeng Abdul Kadir yang berlokasi di Banjar Dukuh, Desa Serangan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar. Bukti kepemilikan secara sah oleh Daeng Abdul Kadir dapat dilihat berdasarkan Pipil Nomor : 105 Klass II Persil 15c seluas 0,995 Ha akta jual beli nomor : 28/1957 yang dibeli dari Sikin pada tahun 1957. “Saya bersama Pak Nyoman Kemuantara memiliki kesepakatan di atas bidang tanah tersebut, sehingga membuat permohonan kepada BPN Kota Denpasar untuk disertifikatkan. Namun sampai 2 tahun megajukan permohonan sertifikat tidak selesai karena adanya intervensi dari pihak lain. Akhirnya saya turun tangan meminta audensi dengan BPN Kota Denpasar,” ujarnya.
Dalam audiensi tersebut Ipung membawa sejumlah bukti yakni Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor:99/Pdt/1974 tertanggal 22 April 1975, Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar Nomor 238/P.T.D/1975/Pdt tertanggal 3 Nopember 1975 yang menjelaskan bahwa tanah tersebut adalah milik Daeng Abdul Kadir dan Ipung sebagai ahli warisnya berdasarkan Pipil Nomor 105 Klass II Persil 15c seluas 0,995 hektar are dengan akta jual beli nomor 28/1957. “Setelah audensi tadi siang, ketemulah jawabannya, kenapa dari pihak BPN Kota Denpasar tidak bisa memproses pensertifikatan tanah yang dimohon Kemuantara dengan alasan karena ada surat dari Desa Adat yaitu Jro Bendesa sekarang, ada pelepasan tanah dari PT BTID, dari Dinas Kehutanan kepada PT BTID yang dimiliki desa. Namun sepengetahuan kami, tanah itu bukan tanah kehutanan, bukan juga tanah PT BTID. Kami memiliki dokumen legal dan sudah diperlihatkan ke BPN Kota Denpasar,” ujarnya.
Pihak BPN menjelaskan bahwa tanah itu belum bisa disertifikat karena ada surat dari desa yang menjelaskan ada pengklaiman dari Desa Adat Serangan bahwa tanah itu adalah bagian dari reklamasi laut dari PT-BTID. Padahal itu tanah itu bukan laut karena masih ada dalam kanal yang menjadi batas antara tanah milik PT BTID dan tanah warga. Dalam surat keberatan dari Desa Adat, dijelaskan bahwa tanah luas tanah yakni 99,5 are. Namun yang ada dalam sertifikat hanya 94 are. Berarti masih ada 5,5 are tanah miliknya. Namun yang dipahami BPN bahwa luas tanah itu hanya 94 are dan sisanya adalah laut. “Kami diminta untuk mengudang pihak Desa Adat, mengundang PT BTID, Kehutanan untuk dikonfirmasi ke BPN. Ini sama dengan mulai dari nol lagi. Padahal dokumen resmi yang legal sudah ada semua,” ujarnya.
Sementara Nyoman Kemuantara mengatakan, tanah tersebut bukan milik Kehutanan atau pun PT BTID. Hal ini sudah dilakukan rapat tahun 2016 dan ada notulen rapat yang menjelaskan jika pihak PT BTID mengakui bukan tanah miliknya. “Saya ini pelakunya. Saya tahu betul sejarahnya. Di atas tanah tersebut sudah ada usaha, ada bangunan koperasi, ada tanam beton. Kalau memang itu milik PT BTID, kenapa tidak ada upaya hukum atau pun pembicaraan secara kekeluargaan yang menegaskan jika tanah tersebut milik PT BTID. Dan PT BTID tidak mungkin melepaskan begitu saja tanah miliknya dipakai orang lain. Begitu juga pihak Kehutanan. Dari tahun 2016 sampai sekarang tidak ada yang mengklaim bangunan di atas tanah tersebut,” ujarnya.
Ia mengingat betul pertemuan tahun 2016 terjadi pada bulan Juli. Hadir semua pihak mulai dari Desa Adat, PT BTID, Kehutanan dan pihak ahli waris. Dan semua mengakui tidak menjadi pemilik tanah tersebut. Itulah sebabnya, di atas tanah tersebut ada bangunan koperasi dan juga pancangan beberapa beton. Tidak ada sama sekali yang mengklaim bahwa masing-masing pihak menjadi pemilik tanah tersebut. Notulen rapat di tahun 2016 dibacakan sendiri oleh BPN Kota Denpasar saat itu. “Sekarang kita memohon untuk Sertifikat Tanah malah disuruh undang lagi parah pihak yang sudah ada kesepakatan sebelumnya. Kita dipersulit, akhirnya mulai lagi dari nol,” ujarnya.