ENDE, REPORTASE BALI- Sejumlah organisasi masyarakat, organisasi Gereja Katolik, aktifis lingkungan hidup yang tersebar di seluruh daratan Flores secara resmi mengirimkan surat kepada Gubernur NTT Melki Lakalena. Surat tersebut ditandatangani oleh sejumlah pimpinan organisasi pada Selasa (22/7/2025). Mereka berasal dari Aliansi TERLIBAT Bersama KORBAN Geothermal Flores (ALTER BKGF) di antaranya Forum Pemuda Peduli Lingkungan Hidup Paroki Roh Kudus Mataloko, Forum Peduli Keutuhan Lingkungan Berdampak Geothermal Paroki Santo Yoseph Laja, Komisi Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (JPIC) SVD Provinsi Ende, JPIC SVD Provinsi Ruteng, JPIC OFM, JPIC KAE, Badan Eksekutif Mahasiswa IFTK Ledalero.
Beberapa tokoh organisasi yang ikut menandatangani surat penolakan tersebut antara lain Koordinator: P. Dr. Felix Baghi, SVD, Ko-Koordinator: Ir. Justin Coupertino, Sekretaris: Josef San Dou (Chicago) Komisi Hukum Marsellinus Ado Wawo, SH, Vincentius Repu, Komisi Pendidikan & Analisa Data: Wilfridus Leba, RD. Reginaldus Piperno, Komisi Networking & Koalisi: P. Paul Rahmat, SVD (New York), P. Martinus Bhisu, SVD (Paraguay), Rev. Lukas Jua, SVD, Komisi Sosial Gabriel Goa dan masih banyak yang lainnya.
Ketua Aliansi Terlibat Korban Geotermal Flores (Alter KGF) Pater Felix Bhaghi SVD mengatakan, surat tersebut ditulis dan dikirim ke Gubernur NTT Melky Lakalena untuk menanggapi data dan informasi Laporan Tim Satgas Masalah Panas Bumi Flores Lembata yang dibentuk Pemda NTT. “Kami mengapresiasi kerja Tim Satgas dan kebijakan Bapak Gubernur NTT soal Geotermal. Namun kami tetap menolak laporan hasil evaluasi tersebut karena ada banyak hal yang tidak sesuai dengan fakta lapangan. Banyak sekali data yang dilaporkan tidak sesuai dengan fakta di lapangan,” ujarnya.
Setelah melakukan kajian, mengumpulkan informasi dan data, konfirmasi ke warga berdampak, tim menolak Laporan Tim Satgas Panas Bumi NTT. Ada beberapa alasan yang sangat rasional. Pertama, hasil evaluasi Satgas yang tidak mencerminkan realitas lapangan. Kedua, partisipasi
Masyarakat sipil yang tidak memadai dalam Tim Satgas geotermal. Ketiga, proses pengusulan keanggotan tim yang tertutup dan tanpa melibatkan usulan stakeholder yang relevan, termasuk
usulan anggota komunitas yang terkena dampak langsung dan tidak langsung, serta menolak pembangunan pembangkit listrik panas bumi (PLTP). Keempat, metode penilaian yang tidak
cukup mengakomodasi suara warga yang menolak, termasuk suara kaum perempuan. Kelima, waktu kunjungan yang sangat singkat dan terbatas sehingga tidak mampu menggali kegelisahan sosial akibat proyek panas bumi. Keenam, keraguan akan independensi Tim Satgas karena
diawasi dan dibiayai oleh pihak yang tidak netral dalam konflik dan permasalahan pembangkit panas bumi.
Alter KGF sendiri sangat mendukung proses transisi energi yang memenuhi prinsip-prinsip keadilan sosial
dan ekologis, mendorong demokrasi energi dan kedaulatan energi komunitas. Namun laporan Tim Satgas Panas Bumi tidak independen dan meremehkan persoalan yang dihadapi oleh para korban. Klaim dukungan mayoritas masyarakat di lokasi terhadap proyek pembangkit panas bumi adalah generalisasi prematur. Tim Satgas Gubernur NTT melaporkan bahwa dukungan warga pada proyek panas bumi merupakan suara mayoritas. Klaim ini muncul dalam laporan kunjungan Sokoria, Lembata dan lokasi lain. “Kami turun ke lokasi, berkomunikasi, koordinasi, konfirmasi dan ternyata hasilnya adalah bahwa dukungan pada proyek rata-rata berasal dari kelompok yang telah menerima ganti rugi
lahan dari PLN atau dari perusahaan pembangkit independent yang terikat kontrak dengan Perusahaan Listrik Negara (PLN). Di Atadei, Lembata, kelompok pendukung justru masih
memiliki keraguan yang tercermin dari permintaan sosialisasi ulang, penjelasan komprehensif tentang dampak PLTP dengan melibatkan semua pihak, terbuka dan demokratis,” ujarnya.
Tim juga mengabaikan realitas bahwa di semua lokasi pembangkit terjadi penolakan sejak awal pembangunan. Generalisasi prematur di atas melanggar prinsip-prinsip obyektivitas dan
norma-norma kejujuran akademis, dan menghasilkan rekomendasi kebijakan yang tidak berbasis fakta empiris. Reaksi penolakan warga di semua lokasi panas bumi Flores Lembata, atas laporan Tim Satgas, menunjukkan klaim dukungan, tidak berdasar pada realitas lapangan, tetapi asumsi prematur. Laporan tim Satgas adalah dokumen politik yang tidak netral. Sangat terlihat jelas dalam laporan ini yang diakomodasi dan diutamakan adalah tujuan-tujuan pemerintah, korporasi, dan juga kelompok pendukung. Dalam dokumen ini, suara dari kelompok pendukung cenderung dirumuskan secara positif dan dianggap memwakili mayoritas kehendak warga. Sebaliknya, tujuan atau objectives dari kelompok yang menolak cendrung didelegitimasi bahkan dikonstruksi sebagai ancaman dalam mencapai tujuan bersama.