Geotermal Flores Mengorbankan Masyarakat Sekitar Wilayah Eksplorasi dalam Segala Aspek

0
134

KUPANG, REPORTASE BALI- Akademisi sekaligus Ketua Aliansi Terlibat Korban Geotermal Flores (Alter KGF) RP. DR. Felix Bhaghi, SVD berkesempatan tampil sebagai narasumber dalam diskusi publik bersama para pakar energi dan sejenisnya di Kupang beberapa hari lalu di Kampus Undana Kupang. Saat dihubungi Sabtu (6/9/2025), dosen di IFTK Ledalero ini membenarkan jika dirinya tampil di diskusi publik tersebut. Saat tampil dalam diskusi publik tersebut, pastor asal Paroki Laja, Mataloko tersebut membedah soal Geotermal bertajuk “Nalar Publik Versus Nalar Privat Politik Bisnis Geotermal” di Flores.

Menurutnya, sejak dideklarasi Flores adalah Pulau Panas Bumi atau Flores is Geotermal Island tahun 2017 lalu oleh Kementerian ESDM saat itu, berbagai tindakan eksplorasi terus terjadi secara masif tanpa dukungan masyarakat, tanpa teknologi yang mumpuni. “Eksplorasi panas bumi Flores selalu dibungkus, dibumbui demi pasokan listrik, demi energi bersih, dan sejenisnya. Tanpa sedikit pun berpihak pada masyarakat lokal seputar wilayah eksplorasi, bagaimana identitas budaya mereka, bagaimana lingkungan hidup mereka, dampak ekonomi dan sebagainya,” ujarnya. Dengan mengutip kata-kata Filsuf dan kritikus asal Austria Ivan Illic yang mengatakan, corruptio optimis pexima atau tidak ada yang lebih buruk daripada kebaikan yang rusak.

Sebab, diskursus publik tentang Geothermal ini dibuat di tengah gelombang unjuk rasa dan kenaikan emosi politik sebagai akibat krisis legitimasi negara. Ledakan amarah massa yang sedang terjadi, protes sivitas akademika, keterlibatan aliansi akademisi Indonesia adalah isyarat kesadaran kolektif tentang kelemahan pilar negara hukum, keruntuhan demokrasi akibat partisipasi publik yang tidak diakomodasi, kelemahan prinsip moral, pelanggaran hak asasi manusia, pengabaian keadilan ekologis, serta kehilangan independensi mekanisme kontrol lembaga pengadilan, termasuk di dalamnya unjuk rasa masyarakat Flores beberapa waktu yang lalu untuk menolak proyek Geothermal di Poco Leok Manggarai, Mataloko Ngada, Mbay-Nagekeo dan Ende.

Baca Juga :   Pembelajaran Gempa Sulbar, Fenonema dan Dampak Kerusakan Bangunan

Ia mempertanyakan, bagaimana mungkin eksplorasi geotermal selalu mengabaikan identitas masyarakat lokal sekitar sumber geotermal. Penyebutan ‘masyarakat Flores,’ ‘warga Poco Leok, warga Mataloko, warga Atadei, warga Nage, semua penyebutan ini mengacu kepada identitas, jati diri, karakter budaya dan latar belakang historis mereka. Pada tahun 2017, sejak Flores diputuskan sebagai ‘pulau geothermal, keputusan sepihak dari pusat tanpa persetujuan masyarakat setempat, tanpa edukasi, tanpa penjelasan, tanpa sosialisasi. Pusat berpikir bahwa mereka semua setuju, demi kebutuhan listrik, kebutuhan energi bersih dan seterusnya. Dampak besar keputusan itu telah mengubah ruang hiudup warga Flores menjadi ladang eksploitasi panas bumi, ruang sosial-budaya masyarakat diganggu, dan ruang psikologis warga diguncangkan. Belum lagi dampak lingkungan, dampak ekonomi, kesehatan dan sebagainya.

“Bertolak dari proses belajar bersama, kami telah mendengar kisah hidup warga yang disampaikan dengan bebas dan setara. Mereka menyadari potensi resiko, potensi kerugian, potensi kerusakan yang akan mereka hadapi. Dari satu sisi, warga Flores menyadari minimnya informasi yang benar tentang industri transisi energi, sementara dari sisi lain, pihak pemerintah dan proyek tampkanya lebih mengutamakan nilai profit ketimbang aspek kemanusiaan, dan prosedur yang baik dan benar,” ujarnya.

Sejak keputusan “Flores Pulau Sebagai Panas Bumi” secara sepihak oleh menteri ESDM, maka sejak itu pula telah melukai seluruh warga Flores, karena dampak keputusan itu mereduksi ruang hidup warga menjadi ladang industri energi, mengubah status ruang sosial budaya menjadi ruang komoditi pasar listrik. Warga Flores telah membayangkan bagaimana sebagian dari ruang hidup mereka akan menjadi zona pengorbanan industri energi geothermal. Kenyamanan hidup para penghuni kampung dan para petani di ladang akan diganggu.

Realitas masuknya industri geothermal ke pulau Flores dalam skala besar, telah membuka kesadaran kolektif warga untuk membangun jejaring, meningkatkan percakapan dan pertukaran informasi, merumuskan sikap kolektif yang otonom seperti yang terjadi di Laja, Poco Leok, dan Sano Goang. Mereka setia pada alam, taat pada pesan leluhur tentang pemberian dan kesucian hidup melalui air, pohon, tanah, udara dan tanaman perdagangan mereka.

Baca Juga :   Merayakan Bulan Bung Karno, Menghidupkan Warisan Semangat Membaca dari Bapak Bangsa

Di Mataloko misalnya, dari kenyataan kegagalan pemboran panas bumi tahap pertama, yang telah meninggalkan semburan lumpur panas di sekitar kampung adat Wogo dan Turetogo – Mataloko, dan dari pengetahuan yang dicocokan dengan pengalaman di kampung seperti Nage, Sokoria dan Atadei, serta bertolak dari sharing pengalaman para korban geothermal tentang pencemaran udara, air, kerusakan tanaman, diketahui bahwa warga, para ibu, anak-anak telah mengalami kecemasan, ketakutan, gangguan pernapasan sebagai akibat dari perluasan penyebaran gas beracun dari perasi ekstraksi panas bumi.

Warga memilih sikap menolak “dijadikan korban,” dan “disakiti,” dan ingin melihat diri sungguh sebagai “subyek,” “persona”. Warga bukan obyek rekayasa nalar bisnis dengan dalil energi hijau, kesejahteraan dan listrik gratis. Imajinasi komunitas tentang keharmonisan hidup bersama alam, bertumbuh melalui kesadaran kolektif untuk bersatu melawan semua bentuk rekayasa dari luar. “Kita pun menyadari bahwa gerakan massa pada hari-hari ini adalah letusan ketidakpuasa emosi publik serentak sebagai isyarat tentang kekuatan kesadaran kolektif untuk melawan nalar bisnis dengan rasionalitas instrumental yang telah lama bercokol di kalangan penguasa dan pebisnis,” ujarnya.