REPORTASEBALI.COM – Dalam rangka membahas pengawasan atas pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman, Komite II DPD RI melaksanakan rapat kerja dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang berlangsung di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (3/9).
Dalam rapat tersebut, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono harus batal hadir karena mendapat panggilan mendadak dari Presiden. Hal ini disampaikan oleh Sekjen Kementerian PUPR, Prof. (R) Dr. Ir. Anita Firmanti Eko Sustyawati, MT yang didampingi Dirjen Penyediaan Perumahan Dr. Ir. H. Syarif Burhanuddin, M. Eng dan Dirjen Pembiayaan Perumahan Dr. Ir. Lana Winayati, MCP serta para jajarannya.
Kementerian PUPR dihadapan para anggota Komite II DPD RI memaparkan hasil realisasi dan capaian dari program perumahan rakyat yang merupakan bagian dari program nawacita Presiden Jokowi. Selain itu, Prof. (R) Dr. Ir. Anita Firmanti Eko Sustyawati, MT juga menjelaskan bahwa Kementerian PURP sedang berusaha untuk mendapatkan izin Kementerian PAN-RB untuk pembangunan Balai Perumahan dan Pemukiman dan berharap DPD RI mendukung agar izin tersebut lebih cepat terealisasi.
Sementara itu anggota Komite II DPD RI asal Aceh, H. Sudirman atau Haji Uma dalam sesi penyampaian pendapat, menyoroti persoalan mutu dan kualitas rumah bantuan masyarakat. Kementerian PUPR harus memastikan dalam pelaksanaannya dilapangan, rumah bantuan bagi masyarakat harus memenuhi standar mutu dan standar kelayakan. Karena berdasarkan laporan masyarakat, ada rumah perumnas yang sudah rusak sebelum serah terima.
“Kita sangat tidak ingin realitas seperti ini karena sayang masyarakat. Kita berharap ini menjadi perhatian prioritas, sehingga rumah yang nanti diterima masyarakat benar-benar layak”ujar Haji Uma.
Haji Uma juga meminta Kementerian PUPR untuk mengevaluasi sistem dan mekanisme validasi penerima manfaat. Karena jika bantuan rumah tidak tepat sasaran, maka keberhasilan program tidak akan tercapai dan tidak efektif dalam menyelesaikan masalah perumahan rakyat dinegeri ini, bahkan sebaliknya akan meninggalkan masalah yang sama kedepannya.
“Di daerah, proses validasi dan distribusi masih banyak masalah. Misalnya praktik pungutan fee pengurusan rumah bantuan oleh calo atau pihak tertentu, masyarakat miskin tentu tidak mampu membayar dan dampaknya bantuan dialihkan ke penerima lain yang mampu membayar fee”, kata Haji Uma.
Bahkan Haji Uma mencontohkan kasus yang baru-baru ini terjadi, dimana ada keluarga dari anggota dewan yang menjadi penerima rumah bantuan rumah dari program dana aspirasi. Jika kondisi semacam ini terus berulang, maka rakyat miskin hanya akan menjadi penonton dari program perumahan pemerintah yang seharusnya menjadi hak mereka. “Karena itu, sistem validasi harus menjadi perhatian prioritas dari Kementerian PUPR”, tutup Haji Uma.(DM)