REPORTASEBALI.COM – Calon Gubernur Bali nomor urut 1, Wayan Koster mengunjungi perkebunan kakao yang dikelola oleh Subak Abian Dwi Mekar di Desa Pohsanten, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana. Di sini, Koster mendapat penjelasan detail mengenai sistem pengolaan Kakao mulai hulu hingga hilir yang dikelola sendiri oleh warga melalui Koperasi Kertha Samania.
Dalam kunjungannya itu, kandidat yang diusung PDI Perjuangan, Hanura, PAN, PKPI, PKB dan PPP didampingi sejumlah pengurus diantaranya Ketua Tim Pemenangan Wayan Koster-Tjok Oka Artha Ardhana Sukawati (Koster-Ace) Kabupaten Jembrana, Made Kembang Hartawan, Putu Arta, jajaran pengurus partai pengusung dan sejumlah tokoh masyarakat. Koster juga diberi kesempatan melakukan panen raya kakao yang sudah masak.
Koster mendapat penjelasan mengenai sistem pengelolaan kakao dari pendamping Subak Abian Dwi Mekar, Agung Widi. Widi menjelaskan, program kakao lestari dicetuskan sejak tujuh tahun lalu. Pesertanya sebanyak 609 orang yang tergabung dalam 38 subak abian dari 146 Subak Abian di Kabupaten Jembrana.
Subak Abian Dwi Mekar adalah salah satu anggotanya. Secara keseluruhan, luasan lahan kakao yang dikelola yakni 900 hektar.
“Untuk bibit kami sudah mengelola sendiri. Jadi, antar-anggota bisa saling bertukar bibit,” terang Widi, Selasa 17 April 2018.
Awalnya, Widi melanjutkan, untuk bibit didatangkan dari Sulawesi. Namun kini petani kakao di Jembrana sudah bisa menghasilkan sendiri bibit kakao.
“Sekarang kami sudah mandiri. Setiap 25 tahun sekali sudah harus regenerasi. Jadi, dilakukan penyambungan namun tetap menggunakan induknya di akarnya,” paparnya.
Hasil kakao yang ditanam dibeli oleh Koperasi Kertha Samania. Untuk panen raya biasanya jatuh pada bulan Juli dan Agustus saban tahunnya. Yang membanggakan, melalui program kakao lestari petani di Jembrana berhasil melakukan fermentasi.
Menurut Widi, satu-satunya yang telah melakukan fermentasi di Indonesia adalah di Jembrana ini. Bahkan, kakao Jembrana telah diakui dunia internasional. Kakao hasil program ini telah mendapat sertifikat pengakuan dunia internasional yang membuatnya bisa diekspor ke luar negeri.
Catatan lainnya yang membanggakan yakni produksi kakao di Jembrana merupakan yang tertinggi dibanding daerah lain di Indonesia dari luasan lahan yang sama. Tiap tahun, satu hektar lahan kakao di sini menghasilkan 1,8 ton kakao.
“Sementara rata-rata di Indonesia itu yang dihasilkan dari luasan lahan yang sama yakni 1 sampai 1,2 ton per tahun,” terang Widi.
Kendati sudah dikelola secara keseluruhan oleh petani, namun mereka masih terkendala peralatan pengolahan pasca-panen hingga menjadi produk unggulan.
“Selama ini sudah ada unit petani kami yang mengelola. Tapi, kami masih kekurangan alat pengolahan produksi,” ujarnya.
Pemilik lahan, I Made Sugandi mengaku perekonomiannya meningkat drastis semenjak bergabung dengan program kakao lestari. Saban tahun, ia mendapat keuntungan cukup besar.
“Yang kami hasilkan tiap tahun 1,8 ton dikali Rp 40 ribu per kilogramnya. Dulu kami hanya menghasilkan 600 kilogram per tahunnya. Tapi sejak bergabung di sini, jumlah hasil panennya meningkat drastis,” terang dia.
Wayan Koster amat kagum dengan apa yang dilakukan oleh petani kakao di Jembrana.
“Ini luar biasa. Yang begini memang mau saya bangun di Bali. Ke depan Bali sebagai wilayah agraris, pertanian, ini harus kita pelihara. Jangan sampai Bali tercabut dari akarnya yakni partanian. Pertanian ibunya kesejahteraan masyarakat Bali,” papar Koster.
Tanpa pertanian dengan budayanya yang sangat agung, Koster mengaku Bali akan kesulitan meningkatkan perekonomian dalam hal kesejahteraan masyarakat. Melalui konsep Nangun Sat Kerthi Loka Bali, Koster memang sudah merancang konsep pengelolaan paripurna seperti yang dilakukan oleh petani kakao di Jembrana.
“Saya memang berencana menyiapkan konsep pengembangan ekonomi kerakyatan yang berbasis pada pertanian dalam artian luas, termasuk nelayan. Misalnya di sini kakao, lalu kita juga punya kelapa, jeruk, manggis dan lainnya, termasuk sayuran dan holtikultura. Begitu juga kita punya sumber perekonomian berbasis budaya, berbasis pada keterampilan da keahlian orang Bali seperti patung, lukisan, arsitektur dan jenis karya seni lainnya. Bali punya dua hal penting yakni pertanian dan budaya,” tutur dia.
Ke depan, Koster akan mendorong sistem pengelolaan serupa di seluruh wilayah Bali. Nantinya, Koster akan melakukan pemetaan wilayah di Bali berdasarkan konsep satu desa satu produk. Dengan berbagai komoditas yang dimilikinya akan dibuatkan organisasi dan koperasinya. Keduanya akan berkolaborasi mengembangkan komoditas dari hulu hingga ke hilir.
“Jadi, di hulu mulai dari lahan, petani, bibit, pupuk, pendampingan, teknologi pengolahannya itu dipikirkan. Di hilir ada pasarnya, bisa jual langsung baik mentahnya, bisa juga semi olahan. Sudah punya nilai tambah lebih mahal,” jelas Koster.
Tak hanya itu, ia juga ingin mengembangkan industri pengolahannya.
“Kita siapkan tukang desainnya dari lulusan seni rupa dan arsitek. Kita buatkan rumah desain untuk produk komoditas Bali. Bisa pangan dan lainnya. Koperasi ini akan kami dorong dan dia nantinya menjadi fasilitator. Tujuanya supaya koperasi ini yang bekerja untuk menghasilkan produk nilai tambah. Teknologinya, promosinya kita bantu online supaya mendunia pasarnya untuk sejumlah komoditas di sejumlah Bali,” ucap dia.
Ia percaya model pengelolaan seperti ini akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Difasilitasi juga dengan modal, pendampingan dan teknologi. Nanti dosen dan mahasiawa. Ke depan kita sinergikan dengan universitas agar mereka terjun langsung melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Ini akan dijadikan percontohan, model, tidak saja untuk kakao, tapi hasil pertanian lainnya,” demikian Koster. (dyu)