DENPASAR, REPORTASE BALI– Petani di Kabupaten Bangli Bali menunjukkan komitmennya untuk mengurangi penggunaan pupuk anorganik yang bisa mencemari lingkungan. Hal ini dilakukan dalam upaya mendorong pertanian berkelanjutan dan mengurangi ketergantungan terhadap pupuk anorganik. Dibimbing akademisi dari Fakultas Pertanian Sains dan Teknologi Universitas Warmadewa, Ir. A.A. Ngr. Mayun Wirajaya, MM, yang mengajak petani di Kabupaten Bangli untuk mengoptimalkan pemanfaatan kotoran sapi sebagai bahan baku pupuk kompos organik.
Ajakan tersebut disampaikan menyusul pelaksanaan program Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) Hibah Institusi yang telah berlangsung sejak 27 Juli 2025 di Desa Bunutin, Kecamatan Bangli. Program ini melibatkan tim dosen lintas keahlian dari Universitas Warmadewa, yang secara aktif melakukan penyuluhan, praktek fermentasi, dan pembinaan terhadap Kelompok Tani Amerta Nadi Bangli.
“Kotoran sapi padat yang selama ini hanya dijual dalam kondisi basah tanpa pengolahan, sebenarnya memiliki potensi besar sebagai pupuk organik berkualitas tinggi. Dengan sentuhan teknologi sederhana, nilai tambahnya bisa sangat signifikan,” ujar Mayun saat dikonfirmasi di Denpasar, Kamis (28/8/2025).
Program ini berfokus pada peningkatan kapasitas petani dalam mengolah limbah kotoran sapi menjadi kompos yang bermutu, melalui pembangunan rumah pengeringan, pemanfaatan compost bag untuk fermentasi, serta pelatihan manajemen usaha berbasis produk kompos. Hasil fermentasi pertama telah diamati pada 26 Agustus 2025, dengan produk kompos mulai dikemas untuk uji pasar.
Menurut Mayun, pendekatan ini tidak hanya mengurangi ketergantungan terhadap pupuk kimia, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru bagi petani. “Kami ingin petani tidak hanya beternak, tetapi juga mengelola limbahnya secara produktif. Ini bagian dari strategi pertanian sirkular yang lebih ramah lingkungan,” tambahnya.
Sebelum program berjalan, kelompok mitra menghadapi sejumlah kendala. Seperti limbah kotoran sapi hanya ditumpuk di tempat terbuka dan dijual dalam bentuk basah. Selain itu belum ada proses fermentasi untuk meningkatkan mutu dan efisiensi. Masalah lainnya, budidaya sapi belum diarahkan untuk menghasilkan limbah berkualitas.
Melalui pendekatan terpadu, tim Universitas Warmadewa memberikan solusi berupa pembangunan rumah pengeringan untuk mempercepat proses pengolahan. Termasuk transfer teknologi compost bag untuk fermentasi efisien di lahan terbatas.
Hasil dari program ini mulai terlihat. Kelompok tani “Amerta Nadi” kini mampu memproduksi kompos dengan mutu tinggi, kuantitas meningkat, dan tersedia secara kontinu. Rumah pengeringan telah berfungsi, dan anggota kelompok telah memahami proses fermentasi serta pengemasan produk.
Lebih dari itu, pengelolaan organisasi kelompok tani juga mengalami perbaikan. Anggota kini lebih aktif dan terlibat dalam proses produksi, serta mulai melihat peluang bisnis dari kompos sapi sebagai produk tambahan.
Mayun menegaskan bahwa keberhasilan program ini menjadi contoh nyata bagaimana kolaborasi antara perguruan tinggi dan masyarakat dapat menghasilkan solusi praktis yang berdampak langsung. “Kami berharap model ini bisa direplikasi di wilayah lain, agar petani semakin mandiri dan lingkungan tetap terjaga,” tutupnya.